Saturday, 31 October 2015



Mencari Jatdiri Didesa Santri
Ada seorang remaja sebut saja Ali. Dia adalah remaja yang tinggal di pedesaan. Dia lahir dari keluarga “orang biasa yang biasa hidup biasa-biasa saja”. Orang tua Ali termasuk orang yang rajin beribadah. Ayahnya biasa menjadi imam di masjid kecil di desanya. Ibunya setiap sore mengajari anak-anak desa ngaji al-Quran. Meskipun begitu, Ali termasuk malas ketika disuruh mengaji, apalagi yang mengajar adalah orang tuanya sendiri. jadi dia cenderung menyepelekan. Padahal bacaan tajwidnya termasuk kategori kurang.
Ali baru saja merayakan kelulusannya dari SMP. Bersama teman-temannya, pawai keliling dan corat-coret baju pun mereka lakukan layaknya bocah SMP. Kucing-kucingan dengan polisi pun tak mereka hiraukan. Kenekatan remaja jaman sekarang memang “sungguh sangat luar biasa sekali”. Masih senang-senangnya pawai keliling, tiba-tiba Ayahnya menelpon menyuruh Ali pulang untuk bersiap-siap pergi ke rumah neneknya di Pati, Jawa Tengah. Rencananya Ali memang mau melanjutkan sekolah di tempat neneknya di Pati.
Senin, 21 April 2011 menjadi cerita baru kehidupan Ali. Dengan naik Bus antar-kota dia diantar ayahnya, berangkat dari Pekalongan menuju Pati. Tak lama setelah sampai di desa Kajen Margoyoso Pati. kemudian dia langsung mendaftarkan diri ke sekolah yang ditujunya. Perlu diketahui bahwa desa Kajen dikenal dengan julukan desa santri. karena kehidupan di Kajen memang tidak lepas dari aktivitas para santri yang datang dari dalam sampai luar kota bahkan ada yang dari Madura, Sumatera, Kalimantan dll. inilah salah satu sebab Ali dipindahkan ke Pati. Ya, supaya dia terbiasa dengan lingkungan karakter pesantren.
Singkatnya, tiga bulan sudah Ali tinggal didesa Kajen-Pati. tapi dia belum juga bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. ditambah besarnya rasa rindu terutama kepada ibunya. Bayangan tentang kebersamaan, kemanjaan, perhatian orangtua-nya  dirumah membuatnya galau-palau. Semua itu kini terhalang oleh jarak.Tujuan awalnya untuk bisa mengaji belum juga tercapai, dia bingung mau mengaji (berguru) kepada siapa?
Untuk mengisi aktivitasnya, biasanya setiap malam jumat, Ali berziaroh ke maqom mbah Mutamakkin di Kajen, diyakini oleh para pengikutnya mbah Mutamakkin adalah waliyullah yang memILIKI karamah. Mbah Mutamakkin memang identik dengan sejarah awal peradaban desa Kajen. Jika diruntut silsilah mbah Mutamakkin sampai pada Rasulullah Saw. maka setelah selesai membaca yasin dan tahlil kemudian Ali berdoa kepada Allah dengan tawasul pada mbah mutamakkin supaya bisa “krasan” tinggal di Kajen dan juga bisa segera menemukan guru ngaji.


Suatu malam ba’da isya’, tak seperti biasanya Kak Udin terlihat  berada di rumah. Kak Udin adalah anak dari mbaknya ibunya Ali (kakak sepupu). Ternyata belum lama ini, Kak Udin baru saja pulang dari merantau. Ali melihat Kak Udin seperti mau pergi keluar rumah dan membawa Al-Quran dengan sisa-sisa tetesan air wudhu di wajahnya.
mau kemana Kak?” tanya Ali.
Mau ngaji di ndalemnya Pak Kyai A’an, kamu mau ikut? Kak Udin menawari.
Tapi aku gak lancar ngajinya Kak?” kata Ali.
“La iya, makannya ngaji biar lancar tur bener.” Kak Udin menambahkan. “Ayo, ini mumpung malem Rabu, bagus sebagai awal untuk belajar.”
“Ayo Kak, Aku tak wudhu dulu” Balas Ali bersemangat.
Malam Rabu
Sepadat ini yang mengantri untuk mengaji. Begitu panjang, berdesak-sesak ibarat sebutir gula yang dikerubung beribu semut. Malam Rabu memang tidak seperti malam-malam yang lain. Banyak yang percaya bahwa memulai ngaji dan belajar pada Malam Rabu itu membawa berkah tersendiri. Lama sekali menanti, akhirnya giliran Ali menghadap mengaji.
A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm….
“Doooggg…” Meja menyalahkan Ali. Ali mengulangi lagi.
A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm….” Disalahkan lagi sampai tiga kali, baru beliau (Kyai A’an) sendiri yang membenarkan.
“Aaaa, Mangap seng ombo! Nek ngaji seng niat! Ojo klemar-klemer!”
Pangendikan beliau dengan nada keras. “Nderedeg atiku. Nderodog awakku”. bathin Ali. Meski begitu, akhirnya Ali mampu menyelesaikan tujuh ayat itu, dan tak kurang ada dua puluh ketukan menimpa meja. selamat, Alhamdulillah selamat. Berarti besok, aku sudah bisa langsung meneruskan Surat al-Baqarah, membaca alif laam miim. Alhamdulillah.
Malam Kamis
Karena masih baru, Ali sengaja mengaji agak akhir. Supaya kalau salah, Kyai A’an bisa langsung membenarkan. Lama menanti, tibalah gilirannya mengaji.
Alif laaam miiim….”
“Doog.. doog.. doog..” Asta Kyai A’an memukul meja pertanda bacaan yang salah. Ali mengulangi lagi.
Alif laaam miiim….”
“Eee.. eee.. eee.. Fatichah wae durung iso kok ape ngaleh jen. Baleni!!!” Ali gemetar mendengar pangendikan beliau yang memang terkesan mbentak.
Setelah mengaji, pangendikan Kyai A’an tadi begitu cetar membahana dalam hati. Padahal beliau ngendikan cuma sekali, tapi entah kenapa rasa-rasanya kata-kata itu berkali-kali terngiang-ngiang di telinga. Eee.. eee.. eee.. Fatichah wae durung iso kok ape ngaleh jen. Baleni!!!...
Hari-hari berikutnya
Beberapa hari ini Ali sibuk memikirkan, kenapa dia belum juga diizinkan pindah surat al-baqoroh. padahal sudah di-tashhih-kan kepada Kak Udin. Dari sisi makhraj, Kak Udin sudah berkata bagus. “Ah sudahlah. Aku sudah benar-benar lelah!” Ali sudah hampir putus asa. Keesokan harinya, sepulang dari mendaras di masjid, Ali melihat anak kecil yang begitu inginnya membuka toples yang berisikan jajan. Begitu rapatnya tutup itu, sampai-sampai dia kesulitan untuk membuka. Dia putar-putar masih saja tidak bisa. Lalu Ali mendekati anak itu.
“Sini Dek, tak buka-in.” Kata Ali. Anak kecil itu menolak sambil ngotot.
“Gak usah!. Aku bisa sendiri kok!”  Ditarik-tariknya tutup toples itu sekuat tenaga.
“Arrrrgggggghhhh…” dan akhirnya terbuka. “Hem, bisa tho Kang?.”Kejadian itu sungguh memberi pelajaran tentang banyak hal. Bahwa Ali sama sekali tidak boleh berputus asa! tak boleh menyerah!
Malam Kamis (Minggu Ketiga)
Sudah terhitung 23 hari, semangat..
mulailah Ali membaca al-fatichah. Setelah selesai membaca al-fatichah, Dalam hati Ali berkata, oh berarti ini sudah tidak ada salahnya. Saatnya berpindah al-Baqarah.
Alif laaam miiim….”
“Doog.. doog.. doog.. angger pindah sak karepmu dewe, masamu Quran iku dolanan? Sak enake dewe!. Ali tertusuk, tertunduk. Mengehela nafas dalam-dalam, merasa kata-kata itu begitu menghujam, Ali memejamkan mata. “Cung… Cung… reneo tak kandani!” dari kejauhan Kyai A’an memanggil. “Dalem Kyai, pripun Kyai???.” Mendekat kepada beliau yang saat itu tampak begitu mencorong wajahnya, sembari memasang telinga agar tak ada satu huruf pun dari ucapan beliau yang terlewatkan. “Nek ngaji seng Panteng yo Cung, Penting Pantang Pontang Panting!” Tiba-tiba beliau mengeluarkan sesuatu dan diberikannya adalah sebuah kunci.
Tiba-tiba terdengar suara adzan subuh. masya Allah ternyata mimpi. Subhanallah, tampak sangat jelas sekali. Seakan-akan bukan mimpi. Subhanallah.. Ali coba membuka-buka kitab hadits yang dulu pernah dibeli namun tak pernah dibaca sama sekali. Tiba-tiba, ada sebuah petuah dari Kanjeng Rasul, berupa hadits qudsi kurang lebih isinya begini: Setiap kali seorang hamba membaca al-Fatichah dalam shalat, setiap kali itu pula Tuhan  pasti selalu menjawab. Selalu ada dialog antara hamba dan Tuhan, baik hamba itu sadar ataupun tidak.
Hamba: “Alhamdulillahirabbil’alamin.
Tuhan: “Oh ini hambaku telah memujiku, maka akan kutambahkan nikmatKu kepadanya.
Hamba: “Arrahmanirrahim.
Tuhan: “Dia telah mengakui bahwa Aku adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, maka akan selalu Kukasihani dan Kusayang dia.”
Hamba: “Malikiyaumiddin.
Tuhan: “Dia telah mengakui bahwa Aku-lah Penguasa pada hari kiamat, maka akan kuampuni seluruh dosa-dosanya pada hari itu.”
Hamba: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’inu.
Tuhan: “Dia telah mengakui bahwa hanya kepadaKu ia menyembah dan hanya kepadaKu ia memohon pertolongan, maka akan selalu kuberinya pertolonganKu.”
Hamba: “Ihdinashshirathalmustaqim. Shirathalladzina an’amta ‘alayhim ghairil maghdhubi ‘alayhim waladh dhallin.
Tuhan: “Akan Kuberinya segala apa yang diminta.”


Malam Ke-41
Seperti biasa, Ali menyetorkan Surat al-Fatichah. Sudah 40 hari lamanya bergelut dengan Umul kitab ini. Ali begitu mengenalnya, huruf-hurufnya, makhraj-makhrajnya, wakaf-wakafnya, karakteristiknya, sampai makna dan berbagai tafsirnya. Itu baru Fatichah, dan itu pun baru sedikit, sangat sangat sedikit pengetahuan tentangnya. Akan tetapi yang sangat sedikit itu telah mampu membuka segala ketenangan sehingga bersemayam dalam-dalam dalam hati yang terdalam. Ali mulai membacanya. Begitu nikmat, begitu khidmat. Benar-benar merasakan Fatichah-ku dijawab Tuhan. Sampai “ihdinashshirathal mustaqim”, tak terasa bulir-bulir mata air yang sudah lama tak pernah memancar, tiba-tiba saja mengucur sangat deras dan tak terbendung. Mata air itu menarik dada sedemikian kencangnya hingga nafas tersengal-sengal dan seakan-akan membaca tanpa suara. “Aaamin” nyaris tiada terdengar. Mata terpejam sembari menunduk. Tak berani membuka apalagi mendongakkan muka. Tiba-tiba terdengar.
“Wis, wis, wis… wis cukup Cung… mulai sesuk pindah al-Baqarah…”
Ali membuka mata perlahan. Sedikit menatap wajah beliau. Maa Sya Allah!!! beliau berlinang air mata!!!. Ali mengecup asta beliau lumayan lama sampai ikut basah oleh mata dan hidungnya. Dalam hati Ali berkata, “Nyuwun pangapunten Kyai, dalem nyuwun agunging pangapunten. Nyuwun tambahing samudero pangestu kersane ngajine kulo niki panteng, penting pantang pontang panting.

0 comments:

Post a Comment