MAKALAH
TAKHRIJ HADITS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ulumul Hadits
Program Studi Pendidikan Agama Islam
(PAI)
Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan
Dosen pengampu : AENUROFIK,
M. A
1. Fatchurahman Ali (2021114145)
2. M Aishul Huda (2021114279)
3. Dewi Astini (2021114034)
4. Vina Zakiyah (2021114179)
Kelas
: PAI D
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan kemudahan kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah kami yang berjudul “Takhrij Hadits” mata
kuliah Ulumul Hadit. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
Rasulullah Muhammad saw., beserta keluarga, shahabat dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat.
Makalah
ini menjelaskan tentang Apa Pengertian Takhrij Hadits, Sejarah Ilmu Tahrij, Tujuan
dan Manfaat Takhrij Hadits, Metode-Metode Dalam Takhrij Hadits, Urgensi Manfaat
dan Orientasi Takhrij. Dengan demikian materi makalah ini diharapkan dapat membantu
proses belajar mahasiswa.
Teriring
ucapan terima kasih kepada Bapak Aenurofik selaku pembimbing kami dalam
pembelajaran mata kuliah Ulumul Hadits, juga kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan serta motivasi kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami
menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun guna perbaikan dan peningkatan kualitas makalah di masa yang akan
datang dari pembaca adalah sangat berharga bagi kami.
Demikian
makalah ini kami susun, semoga makalah ini bisa menambah keilmuan dan
bermanfaat bagi kita semua serta menjadi tambahan referensi bagi penyusunan
makalah dengan tema yang senada diwaktu yang akan datang. Aamiin yaa robbal
‘alamin.
Pekalongan,
21 Februari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul .......................................................................................... i
Kata Pengantar ......................................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................................. iii
Bab I Pendahuluan ................................................................................... 1
A.
Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ........................................................................... 1
C.
Metode Pemecahan Masalah ........................................................... 2
D.
Sistematika Penulisan Masalah ....................................................... 2
Bab II Pembahasan ................................................................................... 3
A.
Pengertian Takhrij Hadits ............................................................... 3
B.
Sejarah ilmu Takhrij ........................................................................ 6
C.
Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadits ................................................ 7
D.
Cara Pelaksanaan dan Metode Takhrij ............................................ 10
E.
Urgensi Manfaat dan Orientasi Takhrij ........................................... 10
F.
Hal Yang Mendasar Dalam Takhrij Hadits ..................................... 11
G.
Kitab-Kitab Takhrij ......................................................................... 13
H.
Contoh Takhrij ................................................................................ 15
Bab
III Penutup ........................................................................................ 26
A.
Kesimpulan ..................................................................................... 26
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Langkah awal dalam melakukan kegiatan penelitian hadis adalah
Takhrij al-Hadis. Kegiatan ini sangat penting karena tanpa kegiatan ini
terlebih dahulu maka akan sulit untuk diketahui asal usul riwayat hadis yang akan
diteliti. Kegiatan penelitian hadis baik dari segi sanad maupun dari segi matan
sangatlah penting. Upaya penelitian terhadap hadis-hadis yang tertuang dalam beberapa
kitab hadis merupakan sebuah keharusan. Karena kitab-kitab hadis yang disusun
oleh para mukharrij-nya masing-masing memuat riwayat hadis baik sanad-nya
maupun matan-nya. Artinya para mukharrij bersikap terbuka dengan mempersilahkan
para ahli yang berminat untuk meneliti semua hadis yang terhimpun dalam kitab
hadis yang mereka susun.
Latar belakang pentingnya penelitian hadis adalah hadis nabi
sebagai salah satu sumber ajaran islam, dan tidak seluruh hadis tertulis pada
zaman nabi. Selain itu telah timbul berbagai pemalsuan hadis. Juga di sisi lain
telah terjadi periwayatan secara makna karena jumlah kitab hadis yang banyak
dengan penyusunan yang beragam serta proses penghimpunan hadis memaka waktu
yang lama.[1]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang perlu
kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan untuk terfokusnya kajian makalah
ini. Adapun rumusan makalahnya sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Takhrij Hadits?
2. Bagaimana sejarah Ilmu Tahrij?
3. Apa Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadits?
4. Bagaimana Metode-Metode Dalam Takhrij
Hadits?
5. Apa Urgensi Manfaat dan Orientasi
Takhrij?
6. Apa Kitab-Kitab Yang Dibutuhkan Dalam
Takhrij Hadits?
C.
Metode
Pemecahan Masalah
Metode
pemecahan masalah yang dilakukan melalui study literatur atau metode kajian
pustaka, yaitu dengan menggunakan beberapa referensi lainnya yang merujuk pada
permasalahan yang dibahas. Langkah-langkah pemecahan masalahnya dimulai dengan
menentukan masalah yang akan dibahas dengan melakukan perumusan masalah,
melakukan langkah-langkah pengkajian masalah, penentuan tujuan dan sasaran,
perumusan jawaban permasalahan dari berbagai sumber, dan penyintesisan serta
pengorganisasian jawaban permasalahan.
D.
Sistematika Penulisan Makalah
Makalah ini ditulis dalam tiga bagian,
meliputi: Bab I Pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah,
perumusan masalah, metode pemecahan masalah, dan sistematika penulisan makalah;
Bab II, adalah Pembahasan; Bab III, bagian penutup yang terdiri dari Kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pegertian Takhrij Hadis
Menurut bahasa
berasal dari kata khuruj (keluar) lawan dari dukhul (masuk). Khuruj
terkadang berarti Ibros dan Idzhar (menampakkan). Takhrij di kalangan
ahli hadits artinya menampakkan tempat keluarnya hadits dengan menyebut para
perawi isnadnya. Menurut Ibnu Sholah (Ulum Al-Hadits) Takhrij persamaan
dari kata ikhroj, yang berarti menampakkan hadits kepada orang lain dengan
menyebut tempat pengambilannya. Artinya para tokoh isnadnya yang mentakhrij
hadits itu disebutkan. Misal: Hadits yang dikeluar- kan oleh Bukhari, atau
ditakhrij oleh Bukhari. Artinya ia meriwayatkannya dan menyebut tempat
dikeluarkannya secara independen.[2]
Takhrij Hadis adalah merupakan bagian dari kegiatan penelitian hadis. Dua
kata lain yang mempunyai kata dasar yang sama dari kata khara-ja, yaitu ikhraj
dan istikraj, yang penggunaannya sedikit berbeda antara yang satu
dengan yang lainnya.
Kata ikhraj dalam
terminologi ilmu hadis berarti:
فَهُوَرِوَايَةِاْلحَدِيْثِ بِاْلاَسْنَادِمِنْ مَخْرَجِهِ
وَرَاوِيَةِ اِلى رَسُوْلِ اللَه صَلَى اللَهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ اِنْ كَانَ
مَرْعًا
,أَوْ اِلَى الصَحَابِى اِنْكَانَ مَوْقُوْفًا, أَوْ اِلَى التَّابِعِي اِنْ كَانَ
مَقْ عًاز
Yaitu,
periwayatan hadis dengan menyebutkan sanad-nya mulai dari mukharij-nya dengan
parawinya sampai kepada Rasul saw. jika hadis tersebut marfu’, atau sampai
kepada sahabat jika hadis tersebut mawafuq, atau sampai kepada tabi’in jika
hadis tersebut maqthu’’.
Suatu hadis
yang sebelumnya tidak diketahui keadaannya sehingga seolah-olah dianggap tidak
ada, maka dengan ikhraj, yaitu penyebutan sanad-nya secara
bersambung sampai kepada yang mengucapkannya, hadis tersebut akan menjadi jelas
eksistensinya dan akan diketahui kualitasnya sehingga dapat diamalkan.
Istikhraj dalam
istilah ilmu hadis adalah:
فَهُوَاَنْ يَقْصِدَاْلحَافِظُ اَلاَّ مُصْحَفِ مُسْنَدِلِغَيْرِهِ فَيَخْرُخُ
اَحَادِيْثِهِ بِأسَانِدِى فَسَهُ مِنْ غَيْرِ طَاحِبِ اْلكِتَابِ فَيُجْمَعُ مَعَهُ
فِى ثَيْخُهُ وَهُكُوْدًا اِلَى صَحَايِثُ بِشَرْطِ اَنْ لَايُوَرِدُاْلحَدِيْثِ
المَذْكُوْرِ مِنْ حَدِيْثِ صَحَابِى اَخَرْبَلْ لَابُدَ اَنْ يَكُوْنَ مِنْ حَدِيْثِ
ذَلِكَ الصَحَابِى نَفْسِهِ
Yaitu, bahwa seorang hafiz (ahli hadis) menentukan (memilih) suatu kitab
kumpulan hadis karya orang lain yang telah disusun lengkap dengan sanad-nya,
lalu dia mentakhrij hadis-hadisnya dengan sanad-nya sendiri tanpa mengikuti
jalur sanad penyusun kitab tersebut. (Akan tetapi) jalur sanad-nya itu bertemu
dengan sanad penulis buku tersebut pada gurunya atau guru sebagai penerima
hadis pertama, dengan syarat bahwa hadis tersebut tidak datang dari sahabat
lain, tetapi mestilah dari sahabat yang sama.
Sebagai
contoh, seseorang bermaksud melakukan istikhraj terhadap kitab Shahih
al-Bukhari. Hadis pertama di dalam kitab tersebut adalah hadis tentang
niat, yaitu:
اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّياتِ.....
Hadis niat
tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dari gurunya Al-Humaidi, dari Sufyan ibn
Uyainah, dari Yahya ibn Said al-Anshari, dari Ibrahim al-Taimi, dari Al-Qamah
ibn Waqqash al-Laitisi, dari ‘Umar ibn al-Khatahab. Seseorang mustakhrij (yang
melakukan ikhtiraj) akan menyandarkan hadis tersebut dengan sanad-nya
sendiri kepada al-Humaidi, guru Bukhari, atau jika dia tidak menyandarkannya
kepada Al-Humaidi, dia akan menyandarkannya kepada Sufiyan ibn Uyainah, guru
Al-Humaidi, dan jika dia akan meriwayatkan hadis tersebut dengan
menyandarkannya kepada Yahya ibn al-Mubarak atau ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi atau
parawi selain mereka yang meriwayatkan hadis tersebut dari Yahya ibn Sa’id
al-Anshar, yang jumlahnya menurut sebagian ulama hadis mencapai 700 orang.
Demikianlah seterusnya. Apabila dia, yaitu mustakhrij tersebut tidak
menyandarkannya kepada Yahya, maka dia meriwayatkan hadis tersebut dengan sanad-nya
sendiri dengan menyandarkannya kepada Al-Taimi, atau kepada Al-Qamah ibn
Waqqash, atau kepada Umar ibn kepada Abi Sa’id Khudri atau Abu Hurairah, atau
Anas, atau Ali r.a., yang kesemuanya adalah sahabat yang juga meriwayatkan
hadis niat tersebut, yang rangkaian sanad-sanadnya dinilai dha’if oleh
para ulama hadis. Jadi, apabila pada tingkat sahabat tidak bertemu sanadnya
dengan sanad Bukhari dalam hadis niat tersebut, maka kegiatannya itu tidaklah
dinamai dengan istikhraj, tetapi dinyatakan hadisnya itu sebagai hadis musni
dengan periwayatannya sendiri.
Takhrij, secara bahasa berarti:
اِجْمَاعُ
اَمْرَيْنِ مُتَضَاَدَّيْنِ شَيْءٍ وَاحِدٍ
Berkumpulnya
dua hal yang bertentangan dalam satu masalah.
Selain itu, takhrij
secara bahasa juga menandung pengertian yang bermacam-macam, dan yang
popular diantaranya adalah:
(i) al-istinbath
(mengeluarkan), (ii) al-tadrib (melatih atau membiasa- kan), (iii) al-tawjih
(memperhadapkan).
Secara
terminologi, takhrij berarti:
عَزْوُاْلاَحَادِيْثِ
اَلَّتِى تُذْكِرُفِى اْلمُصَنَفَاتِ مُعَلَّقَةُ غَيْرَ مُسْنَدَةِ وَلَامُعْزُوَّةِ
اِلَى
كِتَابِ اَوَئْكُتُبٍ مُسْنَدَةٍ, اَمَّا مَعَ اْلكَلَامِ عَلَيْهَا تَصْحِيْحًا وَتَضْعِيْفًاوَرَدَّا
وَقُبُوْلًا
وبَيَانِ مَافِيْهَا مِنَ اْلــلِ, وَاَمَّا بِاْلاِقْتِصَارِعَلَي اْلغَزْوِاِلَــى
الأُصُوْلِ
Mengembalikan
(menelusuri kembali ke asalnya) hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagi
kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad, baik disertai dengan
pembicaraaan tentang status hadis-hadis tersebut dari segi sahih atau dha’if,
ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada
padanya, atau hanya sekedar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal
(sumber)-nya.
Al-Thahan,
setelah menyebutkan beberapa macam pengertian takhrij di kalangan ulama hadis, menyimpulkan
sebagai berikut:
هُوَالدَّلاَلَةُعَلَى
مَوْضِعِ اْلحَدِيْثِ فِى مُصَادِرِهِ اْلأَصْلِيَةِ اَلَّتِى اَخْرَجَتْهُ
بِسَنَدِهِ ثُمَّ بَيَانِ مَارَاتِبِه عِنْدَاْلحَجَاةِ
Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada
sumber-sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap
dengan sanad-nya masing-masing, kemudian manakala diperlukan, dijelaskan
kualitas hadis yag bersangkutan.
Yang
dimaksud dengan menunjukan letak hadis dalam definisi di atas adalah
menyebabkan berbagai kitab yang di dalamnya terdapat hadis tersebut, seperti hadis tersebut diriwayatkan
oleh Bukhari di dalam kitab Shahih-nya, atau Al-Thabari di dalam Tafsir-nya,
atau kitab-kitab sejenis yang memuat hadis tersebut.
Sedangkan
yang dimaksud “sumber-sumber hadis yang asli“ adalah kitab-kitab hadis yang
menghimpun hadis-hadis Nabi saw. yang diperoleh oleh penulis kitab tersebut
dari para gurunya, lengkap dengan sanad-nya, sampai kepada Nabi saw.
Kitab-kitab tersebut, seperti Al-Kutub al-sittah, Muwaththa’Malik, Mustadrak
al-hakim.
Yang
dimaksud dengan “menjelaskan status dan kualitas hadis tersebut ketika
dibutuhkan” adalah menjelaskan kualitas hadis tersebut apakah sahih, dha’if atau lainnya, apabila hal tersebut diperlukan. Oleh karenannya, menjelaskan
status dan tingkatan hadis bukanlah sebagai penyempurna yang akan dijelaskan
manakala diperlukan.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa hakikat dari takhrij
al-hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis sebagai sumbernya yang asli
yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanad-nya.
B. Sejarah Ilmu Takhrij
Pada mulanya, menurut Al-Thahan, ilmu takhrij
al-hadits tidak dibutuhkan oleh para ulama dan peneliti hadis karena
pengetahuan mereka tentang sumber hadis ketika itu sangat luas dan baik.
Hubungan mereka dengan sumber hadis juga kuat sekali, sehingga apabila mereka
dapat menjelaskan sumber hadis tersebut dalam berbagai kitab hadis, yang metode
dan cara-cara penulisan kitab-kitab hadis tersebut mereka ketahui. Dengan
kemampuan yang mereka miliki, mereka dengan mudah dapat menggunakan dan mencari
sumber dalam rangka men-takhrij hadis. Bahkan, apabila di hadapan seorang sumber
aslinya, ulama tersebut dengan mudah dapat menjelaskan sumbeer aslinya.
Ketika para ulama mulai merasa kesulitan untuk
mengetahui sumber dari suatu hadis, yaitu setelah berjalan beberapa periode
tertentu dan setelah berkembangnya karya-karya ulama dalam fikih, tafsir dan
sejarah, yang memuat hadis-hadis Nabi saw. yang kadang-kadang tidak menyebutkan
sumbernya, maka ulama hadis terdorong untuk melakukan takhrij
terhadap
karya-karya tersebut. Pada saat itu, munculah kitab-kitab takhrij,
yang
pertama muncul adalah karya Al-Khatib al-Baghdadi (w.463 H), namun yang
terkenal adalah Takhrij al-Fawa’id al-Muntakhabah al-Shihah wa al-Ghara’ib karya Syarif Abi al-Qasim sl-Husaini, Takhrij
al-Fawa’id al-Muntakhabah al-Shihah wa al-Ghara’ib karya Abi al-Qasim al-Muhammad ibn Musa
al-Hazimi al-Syafi’i (w. 584 H). Kitab Al-Muhdzdzab sendiri adalah kitab fikih
mazhab Syafi’i yang disususn oleh Abu Ishaq al-Syirazi.
Kitab-kitab induk hadis yang ada, mempunyai susunan
tertentu dan berada antara yang satu dan yang lainnya, yang hal ini memerlukan
cara tertentu secara ilmiah agar penelitian dan pecarian hadisnya dilakukan
sengan mudah. Cara praktis dan ilmiah inilah yang merupakan kajian pokok ilmu takhrij.
Menurut Mahdi, ilmu takhrij pada awalnya adalah berupa tuturan yang
belum tertulis. Hal ini dimaksudkannya sebelum munculnya kitab-kitab takhrij
seperti Takhrij,
al-Fawa’id al-Muntakhabah karya Abu Qasim al-Husayni, Takhrij
al-Fawa’id al-Muhadzdzab karangan Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Syafi’i,
seperti yang telah disebutkan tadi.
C. Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadis
Penguasaan tentang ilmu takhrij
sangat penting,
bahkan merupakan suatu kemestian bagi setiap ilmuan yang berkecimpung di bidang
ilmu-ilmu kesyariahan, khususnya yang menekuni bidang hadis dan ilmu hadis.
Dengan mempelajari kaidah-kaidah dan metode takhrij, seseorang akan dapat mengetahui
bagaimana cara untuk sampai kepada suatu hadis didalam sumber-sumbernya yang
asli yang pertama kali disususn oleh para ulama mengkodifikasi hadis. Dengan
mengetahui hadis di dalam buku-buku sumbernya yang asli, sekaligus akan
mengetahui sanad-sanad-nya akan memudahkan untuk melakukan penelitian sanad
dalam
rangka untuk mengetahui status dan kualitasnya. Kebutuhan ini akan sangat
dirasakan ketika menyadari bahwa sebagian para penyusun kitab-kitab dalam
bidang fikih, tafsir dan sejarah yang memuat hadis-hadis Nabi saw., tidak
meuliskan hadis-hadis tersebut secara sempurna; merekakadang-kadang hanya
meringkas hadis-hadis tersebut pada bagian-bagian yang mereka perlukan saja
atau pada saat tertentu, mereka menuliskan lafaz hadisnya dan pada saat yang lain
maknanya saja, bahkan kadang-kadang ada yang menuliskan lafaz hadisnya, namun
tanpa menyebutkannya sebagai hadis karena hadis tentang niat atau tentang
sebaik-baik urusan adalah pertengahan, dan sebagainya. Selain itu, juga
terdapat penyebutan hadis tanpa memberikan klarifikasi apakah statusnya marfu’
mauquf, atau maqthu’ yang tentunya berlanjut kepada status dan kualitas hadis
tersebut.
Selanjutnya, mengenai
tujuan dan manfaat takhrij al-hadits ini, ‘Abd al-Mahdi melihatnya secara terpisah
antara yang satu dan yang lainnya. Menurut ‘Abd al-Mahdi, yang menjadi tujuan
dari takhrij adalah menunjukkan sumber hadis dan menerangkan
ditolak atau diterimanya hadis tersebut.
Dengan demikian, ada dua hal yang menjadi tujuan takhrij,
yaitu:
·
Untuk mengetahui sumber dari suatu
hadis, dan
·
Mengetahui kualitas dari suatu hadis,
apakah dapat diterima (sahih atau hasan) atau ditolak (dha’if).
Manfaat takhrij banyak sekali. ‘Abd al-Mahdi
menyimpulkannya sebanyak dua puluh manfaat.
1. Memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitab-kitab asal dari suatu hadis
beserta ulama yang meriwayatkannya.
2. Menambah perbendaharaan sanad hadis melalui kitab-kitab yang ditunjukkannya.
3. Memperjelas keadaan sanad, sehingga dapat diketahui apakah munaqthi atau lainnya.
4. Memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayatnya, seperti hadis dha’if
melalui
suatu riwayat, maka dengan takhrij kemungkinan akan didapati riwayat lain yang dapat
mengangkat status hadis tersebut kepada derajat yang lebih tinggi.
5. Mengetahui pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadits.
6. Memperjelas perawi hadis yang samar karena dengan adanya takhrij,
dapat
diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
7. Memperjelas perawi hadis yang yang tidak diketahui namanya melalui
perbandingan diantara sanad-sanad.
8. Dapat menafikkan pemakaian “an” dalam periwayatan hadis oleh seorang perawi mudallis.
Dengan
didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas kebersambungan sanad-nya, maka periwayatannya yang memakai “an” tadi akan tampak pula kebersambungan sanad-nya.
9. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
10. Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin
saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad
yang
lain, mak nama perawi itu akan menjadi jelas.
11. Dapat memperkenalkan periwayatannya yang tidak terdapat dalam satu sanad.
12. Dapat memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam satu sanad.
13. Dapat menghilangkan syadz (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat
perawi yang lebih tsiqat) yang terdapat pada suatu hadis melalui perbandingan riwayat.
14. Dapat membedakan hadis yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.
15. Dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang
perawi.
16. Dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh perawi.
17. Dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan lafadz
dan yang
dilakukan dengan makna saja.
18. Dapat menjelaskan masa dan tempat kejadian timbulnya hadis.
19. Dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis melalui perbandingan sanad-sanad
yang ada.
20. Dapat mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui
perbandingan-perbandingan sanad yang ada.[3]
D. Cara Pelaksanaan dan Metode Takhrij
Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan
sebagai pedoman, yaitu sebagai berikut.
1. Takhrij menurut lafal pertama matan.
2. Takhrij menurut lafal-lafal yang terdapat di dalam matan
hadis.
3. Takhrij menurut perawi pertama.
4. Takhrij menurut tema hadis.
E. Urgensi Manfaat dan Orientasi Takhrij
Tidak diragukan lagi bahwa mengetahui disiplin ilmu
takhrij sangat penting bagi orang yang menggeluti ilmu-ilmu syar’i, mempelajari
kaidah-kaidahnya dan metodenya, agar ia mengetahui bagaimana sampai kepada
hadits tersebut pada sumber-sumbernya yang orisinal. Manfaat takhrij amat
besar, terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam hadits. Sebab dengan
perantaraanya seseorang mendapat petunjuk kepada salah satu sumber hadits
pertama yang disusun oleh para tokoh/ imam hadits.
Kebutuhan terhadap takhrij supaya pencari ilmu
dapat diperkuat oleh suatu hadits atau ia meriwayatkannya setelah ia mengetahui
ulama - para penyusun yang meriwayatkan
hadits dalam kitabnya sebagai musnad (sandaran).
Karena itu disiplin ilmu takhrij sangat dibutuhkan
oleh setiap peminat, atau oleh orang yang menggeluti ilmu-ilmu syar’i dan
sesuatu yang terkait dengannya.[5]
F. Hal Yang Mendasar Dalam Takhrij Hadits
Mentakhrij matan suatu hadits berarti mengungkap
perawi hadits tersebut dalam kitabnya disertai bab dan hal-hal lainnya yang
berkaitan dengan kitab tersebut.
Setelah mentakhrij suatu hadits hendaknya dapat
menjelaskan sekitar hadits tersebut seluas mungkin, seperti tentang
keshahihannya,ketersambungan sanadnya dan lain-lain. Ini tentunya dengan cara
membandingkan diantara sanad-sanadnya yang ada.
Bila kita dihadapkan upaya mencari hadits dengan
shahabat sebagai penerima dari Nabi SAW lebih dari satu, maka kita harus
mencari shahabat yang meriwayatkannya keseluruhan seperti yang diminta. Seperti
: suatu hadits diriwayatkn oleh ulama hadits dan dua shahabat (A dan B). Hadis
dengan perawinya A dikeluarkan oleh Fulan dalam kitabnya (nama kitab kumpulan
hadistnya) dalam bab ini, jilid sekian, halaman sekian, nomor hadits sekian dan
lain-lain dengan menyebutkan nama-nama perawi yang terdapat dalam sanadnya.
Adpun hadits dengan perawinya B dikeluarkan oleh Fulan dalam kitabnya (nama
kitab haditsnya) dan seterusnya seperti diatas.
Dan bila dihadapkan upaya mencari hadits dengan
shahabat sebagai penerima dari Nabi satu orang, maka cukuplah kita mencarinya
pada satu shahabat itu. Namun bila kebetulan mendapatkan shahabat yang lain
meriwayatkannya dari Nabi, maka kedudukan hadits itu adalah sebagai syahid
terhadap hadits yang kita cari. Kewajiban kita hanyalah meneliti seluk beluk hadits
selain yang menjadi syahidnya itu. Akan lebih baik bila disertakan pula hadits
syahidnya itu.
Yang menjadi sasaran pokok mencari hadits adalah
materinya. Dan hendaknya kita tidak terkecohkan oleh perbedaan lafal. Selama
ada kesamaan shahabat dan kesamaan pengertian dalam susunan kalimatnya, tetap
dinamakan hadits. Memang wajar bila dalam suatu hadits terdapat perbedaan kata
dalam matan. Imam Zaila’i berkata: “Kewajiban seorang muhaddits hanyalah
membahas materi hadits dan meneliti perawi yang mengeluarkannya. Adapun
perbedaan lafal, tambahan atau pengurangan tidak banyak mempengaruhi.”
Imam Al-Sakhawi berkata: ”Para ahli takhrij tidak
berbuat sendiri-sendiri terhadap haditsnya. Kebanyakan mereka berbuat menurut
kitab induk hadits-hadits tersebut dan begitu pula sanad-sanadnya. Setelah
menyelesaikan suatu hadits, mereka berterus terang menisbatkannya kepada,
katakanlah, Imam Bukhari atau Imam Muslim atau kepada keduanya, sekalipun
terdapat perbedaan lafal dengan beliau berdua. Yang mereka kehendaki hanyalah
materi pokok hadits.”
Al-Hafihz al-‘Iraqi dalam pengantar kitabnya yang
bernama
اَلْمُغْنِى عَنْ حَمْلِ الْاَسْفَارِفِى
اْلاَفَارِفِى تَخْرِيْجِ مَا فِى اْلاِحْيَاءِ مِنَ اْلاَخْبَارِ. Berkata : “Saya menisbatkan Hdits kepada
Ulama yang mengeluarkannya, bukan kepada perbedaan lafalnya.”
Dan dalam kitabnya yang lain تَقْرِيْبُ اْلاَسَانِيْدِ
Beliau berkata : ”Sengaja saya menisbatkan Hdits
kepada Ulama yang mengeluarkanHadits tersebut, karena yang saya inginkan adalah
materi Hadits tersebut dan bukan lafal Hadits itu sendiri menurut
ketentuan-ketentuan mustakhraj.”
Dengan demikian dapatlah kita katakan bahwa Takhrij
mengenalkan kitab-kitab induk hadits dengan segala seluk-beluk hadits tersebut
berikut metode-metode yang di dipakainya. Akan lebih baik lagi bila ini
menambah kemudahan –kemudahan mencapai tujuan.
Materi-materi keislaman diantaranya bersumber kepada
Sunnah Nabi Untuk mencari suatu Hadits mengharuskan penggunaan ilmu Takhrij. Dengan
Ilmu Takhrij ini kita tahu kitab-kitab terdapatnya Hadits-Hadits yang menjadi
bahasannya.
Takhrij tidaklah terbatas pada matan Hadits, akan tetapi mencakup:
·
Mentakhrij matan hadits dari berbagai
kitab induknya.
·
Mentakhrij sanad-sanad Hadits beserta
biografi dan penilaian terhadap perawi.
·
Mentakhrij lafal-lafal yang asing
melalui kitab-kitab yang berhubungan dengan itu.
·
Mentakhrij lokasi kejadian dalam hadits
melalui kitab-kitab yang dikarang untuk itu.
·
Mentakhrij nama-nama karangan melalui
kitab-kitab yang diperuntukan bagi bidangnya.
Seseorang dapat dikatakan sebagai peneliti, bila benar-benar telah
dapat memastikan Hadits-Hadits secara tepat. Dia berpedoman kepada ilmunya.
Bahkan dengan ilmunya tersebut dia akan lebih banyak lagi tahu mengenai objek
penelitiannya.[6]
G.
Kitab-kitab Takhrij
Yaitu kitab-kitab yang disusun untuk men-takhrij hadits-hadits
kitab tertentu.
Diantara takhrij
yang terpenting adalah:
1)
Nashbu al-Rayah li Ahadits al-Hidayah karya imam al-Hafizh Jamaluddin Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf
al-Zaila’i al-Hanafi. Kitab ini merupakan takhrij hadits-hadits kitab Al-Hidayah,
sebuah kitab fiqih mazhab Hanafi, yang disusun oleh Ali bi Abu Bakar al-Marghinani,
salah seorang pemuka fuqaha Hanafi.
Kitab ini
mengungkap secara lengkap riwayat-riwayat yang penuh faidah, dan mengupas
setiap hadits yang ada dalam kitab al-Hidayah, disertai riwayat dan
hadits-hadits lain yang menguatkannya. Kitab ini juga mengungkapkan pembahasan
mengenai hadits-hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berbeda
pendapat dengan ulama Hanafiyah, secara jelas dan tuntas, objektif dan tematis.
Semua ini
menunjukkan kedalaman dan penguasaan al-Zaila’i dalam bidang ilmu hadits,
sehingga para ulama setelah menuruti jejaknya.
2)
Al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij Ma fi al-Ihya’
min al-Akhbar karya al-Hafizh
al-Kabir al-Imam Abdurrahim bin al-Husain al-Iraqi, guru al-Hafizh Ibnu Hajar.
Ia adalah orang nomor satu dalam bidang ilmu hadits pada waktu itu.
Kitab ini
merupakan takhrij hadits-hadits sebuah kitab yang teramat penting dan
terkenal di kalangan muslimin, yaitu kitab Ihya’ al-Din karya Imam
Ghazali.
Metode
penulisannya adalah dengan menyebutkan sebagian dari tiap hadits al-Ihya’ lalu
menjelaskan orang yang mengeluarkannya dan sahabat yang meriwayatkannya,
kemudian menjelaskan kualitasnya, baik shahih, hasan, maupun dha’if.
Kitab ini
dicetak menyatu dengan kitab al-Ihya’, dan merupakan ringkasan dari takhrij yang
besar dan luas yang disusunnya, dan kini tidak dapat dijumpai lagi. Al-Zubaidi
menyertakan takhrij yang besar itu ke dalam syarah al-Ihya’ yang disusunnya.
3)
Al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi’i al-Kabir karya Ibnu Hajar.
Kitab ini
merupakan takhrij hadits-hadits al-Syarh al-Kabir karya al-Rafi’i, yang
merupakan syarah al-Wajiz fi al-Fiqh al-Syafi’i karya Imam al-Ghazali. Kitab
ini juga merupakan kesimpulan dari kitab-kitab takhrij serupa yang telah
disusun sebelumnya. Ide itu diperoleh penyusunnya setelah ia membaca Nashb
al-Rayah karya al-Zaila’i. Dengan demikian, kitab ini tampil lengkap dan
mencakup keterangan-keterangan yang berserakan di dalam kitab-kitab sebelumnya.
Teknik
penyusunannya adalah dengan menyebutkan sebagian cuplikan tiap hadits yang
terdapat dalam al-Syarh al-Kabir kemudian menyebutkan tempatnya pada
sumber-sumbernya lengkap dengan sanad-sanadnya serta para rawinya, kemudian
membicarakan setiap rawi dengan rinci yang menyangkut jarh dan ta’dil-nya
serta kesahihan dan kedha’ifan-nya. Kemudian menyebutkan hadits-hadits yang
semakna denannya.
Oleh karena
itu, kitab ini menjadi rujukan hadits-hadits hukum yang sama sekali tidak dapat
diabaikan.[7]
H.
Contoh Takhrij
Berikut adalah
contoh takhrij hadis Nabi saw. tentang keharusan memulai ibadah puasa
Ramadhan dan mengakhirinya dengan melihat hilal. Contoh berikut ini akan
meneliti hadis Malik yang berbunyi:
عَنْ مَالِكِ عَنْ نَافِعِ وَعَبْدِاللهِ بْنِ دِيْنَارِ عَنِ بْنِ عُمَرَ
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَاى الهِلاَلِ وَلاَتُفْطِرُوْاتَرَوَّهُ,
فَاِنَّ عَلَيْكُمْ فَاقَدِّرُوْاقَدَرَلَهُ
Dari Malik, dari Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar, dari Ibn ‘Umar,
bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu berpuasa (puasa Ramadhan)
sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka (ber’Idul Fitri)
sehingga kamu melihatnya. Jika hilal tersebut tertutup dari pandanganmu, maka
tentukanlah ukurannya (bilangannya).
Secara
sistematis, langkah-langkah yang dilakukan dalam men-takhrij hadis di
atas adalah sebagai berikut: (1) takhrij al-hadis, (2) al-i’tibar, (3)
tarjam’ah al-ruwat dan naqd al-sanad, (4) natijah (al-hukm ‘ala
al-hadits), serta (5) fiqh al-hadits (syarh al-hadits).
1.
Takhrij al-hadits
Hadis di atas, yang
membicarakan tentang keharusan melihat hilal untuk memulai dan mengakhiri
ibadah puasa Ramadhan diriwayatkan oleh Malik dari dua orang guru-nya, yaitu
Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar, dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar.
Ketika
ditelusuri lafal hadis tersebut berdasarkan awal kosa katanya (metode
pertama) dengan menggunakan kitab Mu’jam Jami’al al-Ushul fi Ahadits
al-rasul, ditemukan lima riwayat hadis, tetapi dengan melakukan takhrij
al-hadits bi’al-lafaz (berdasarkan kata-kata pada matan hadis, yaitu
metode kedua) dengan mempergunakan kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh
al-Hadits al-Nabawi, dengan menelusuri kosa kata shawana , ditemukan
6 (riwayat) hadis, yaitu dengan tambahan riwayat Ahmad atas kelima riwayat yang
terdapat pada Jami’al al-Ushul. Keenam riwayat tersebut terdapat pada:
·
kitab Al-Muwaththa’ Imam Malik, halaman 177: hadis nomor
633, 634;
·
kitab Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman 62-63: hadis nomor.
16-17.;
·
kitab Shahih Muslim, juz 3, halaman 133: hadis nomor 3;
·
kitab Shahih Muslim, juz 6, halaman 435-436: hadis nomor
2302;
·
kitab Shahih Al-Nasa’i, juz 6, halaman 108: hadis nomor 2;
·
kitab Musnad Imam Ahmad ibn Hambal, juz 2, halaman 337:
hadis nomor 5294;
untuk
kepentingan kegiatan i’tibar, sebagai langkah berikutnya dalam
penelitian ini, dengan ini dikutipkan matan dan sanad yang di-takhrij
oleh Malik, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Nasa’i, dan Ahmad ibn Hanbal
sebagai berikut.
a.
Pada Muwaththa’ Malik terdapat dua riwayat:
·
Riwayat yang datang dari Nafi’ adalah:
عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ وَعَبْدِاللهِ بْنِ دِيْنَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى
تَرَوُاالهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ.
·
Riwayat yang berasal dari ‘Abd Allah ibn Dinar, berbunyi:
عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ وَعَبْدِاللهِ بْنِ دِيْنَارٍ عَنِ ابْنِ
عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الشَّهْرُ تِسْعٌ
وَعِشْرُونَ فَلاَ تَصُومُواحَتَّى تَرَوُااْلهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا حَتَّى
تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ.
b.
Didalam Shahih al-Bukhari, matan dan sanad-nya adalah
sebagai berikut:
حَدَّثَنَاعَبْدِاللهِ بْنِ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ وَعَبْدِاللهِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ ذَكَرَ
رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُواحَتَّى تَرَوُاالهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا
حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ.
حَدَّثَنَاعَبْدِاللهِ بْنِ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ
وَعَبْدِاللهِ ابْنِ دِينَارٍعَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
اَنَّ رَسُوْلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: تَصُوْمُواحَتَّى
تَرَوُاالهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ
فَاقْدُرُوالَهُ.
c.
Di dalam Shahih Muslim, matan dan sanad-nya sebagai
berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنِ يَحْيَى قَالَ:قَرَأْتُ عَلَى نَافِعٍ عَنِ بْن
عُمَرَ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَر رَمَضَانَ
فَقَالَ: تَصُوْمُواحَتَّى تَرَوُاالهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ،
فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ.
d.
Di dalam Sunan Abu Dawud, matan dan sanad-nya adalah:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنِ دَاوُدَ اْلعَتَكِيُّ اَخْبَرَنا حَمَّادُ
أَخْبَرَنَا اَيُّوْبُ عَنْ نَافِعٍ عَنِ بْن عُمَرَ قَالَ:
قَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الشَّهْرُ تِسْعٌ
وَعِشْرُونَ فَلاَ تَصُوْمُواحَتَّى تَرَوُاالهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا حَتَّى
تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ.
e.
Di dalam Sunan Nasa’i, matan dan sanad-nya adalah:
اَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ ابْنِ سَلَمَةَ وَاْلحَارِثُ بْنُ سِكِّيْنَ قِرَأَةُ
عَلَيْهِ وَأَنَا اَسْمَعُ وَاللَّفْظُ لَهُ، عَنِ بْنِ القَاسِمِ عَنْ مَالِكِ عَنْ
نَافِعٍ عَنِ بْنِ عُمَرَأَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكرَ
رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُواحَتَّى تَرَوُاالهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا
حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ.
f.
Di dalam Musnad Imam Ahmad, matan dan sanad-nya
adalah:
حَدَّثَنَاعَبْدُاللهِ، حَدَّثَنِي اَبِي، حَدَّثَنَاعَبْدُالرَّحْمَنِ
حَدَّثَنَا مَالِكٍ نَافِعٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُواحَتَّى
تَرَوُاالهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ
فَاقْدُرُوالَهُ.
Apabila
diperhatikan redaksi dari matan hadis-hadis yang dikutip di atas,
terdapat sedikit perbedaan antara yang satu dan lainnya. Pada riwayat Malik
yang berasal dari Nafi’ terdapat kata dzakara ramadhan, sebelum
perkataan Rasul saw. “la tashumu...”, sedangkan pada riwayatnya yang
lain, yang berasal dari ‘Abd Allah ibn Dinar, tidak terdapat kata-kata tersebut,
tetapi terdapat tambahan kata “al-syahrits’un wa ‘isyrun”. Pada riwayat
Bukhari yang berasal dari jalur ‘Abd Allah ibn Dinar menggunakan kata “fa-akmilu
al-iddat tsalatsin”. Perbedaan redaksi di atas menunjukkan adanya
periwayatan secara makna, yaitu meskipun redaksinya berbeda, tetapi mempunyai
makna yang sama dan bahkan saling mempertegas antara satu dengan lainnya.
2.
Al-i’tibar
Keenam riwayat
hadis tentang melihat hilal untuk memulai dan mengakhiri ibadah puasa Ramadhan
tersebut di atas, selanjutnya di i’tibar dengan cara mengombinasikan
antara sanad yang satu dan yang lainnya, sehingga terlihat dengan jelas
seluruh jalur sanad hadis yang di teliti, demikian juga dengan seluruh
perawinya dan metode periwayatannya. Dengan dilakukan i’tibar tersebut,
akan dapat diketahui apakah ada unsur mutabi’ atau syahid pada
hadis tersebut atau tidak, dan hasil i’tibar dari sanad hadis tentang
melihat hilal.
3.
Terjemah al-ruwat dan naqd al-sanad
Penelitian ini
membatasi diri pada sanad Malik, yaitu hadis yang datang dari ‘Abd Allah ibn
‘Umar melalui Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar. Karena itu, uraian terjemah al-ruwat
akan terbatas pada ‘Abd Allah ibn “Umar, Nafi” Abd Allah ibn Dinar, dan
Malik sendiri sebagai perawi terakhir,sampai pada Ibn ‘Umar sebagai perawi
pertama.
a.
Malik ibn Anas
Nama lengkapnya adalah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi’ Amir ibn
Amr ibn al-Haris ibn Utsman ibn Jutsail ibn Amr ibn al-Harits. Beliau adalah
salah seorang ulama terkenal dan imam kota Madinah. Malik lahir pada tahun 93 H
(ada yang menyebutkan tahun 90 H) dan wafat tahun 169 H dalam usia 87 tahun,
setelah menjadi mufti di Madinah selama 60 tahun. Ibn Hajar menyebutkankan
bahwa Malik meninggal dunia pada tahun 179 H.
Malik berguru dan menerima hadisdari banyak ulama, yang
diperkirakan mencapai jumlah 900 orang. Diantara mereka adalah ‘Amir ibn ‘Abd Allah ibn al-Zubair ibn
al-Awwam, Naa’im ibn ‘Abd Allah al-Majmar, Zaid ibn Aslam, Nafi’ Mawla ibn
‘Umar, ‘Abd Allah ibn Dinar. Nafi dan ‘Abd Allah Ibn Dinar adalah sanad pertama
bagi hadis Malik. Murid-muridnya adalah Al-Zuhri, Yahya ibn Sa’id al-Ansahari,
Al-Awza’i Al-Tsawri, Syu’bah ibn al-Hajjaj, Al-Laits ibn Sa’ad, dan Ibn
Uyainah.
Mengenai pribadi Malik, para kritikus hadis berpendapat sebagai
berikut.
1.
Muhammad ibn Ibn Ishaq al-Tsaqafi berkata, “ketika Muhammad ibn
Ismail Al-Bukhari ditanya tentang Ashah al-Asanid, Al-Bukhari mengatakan, Ashah
Al-Asanid adalah Malik dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar.
2.
Ali ibn al-Madini berkata, dari sumber Ibn ‘Uyainah, “Malik adalah
orang yang paling teliti, dan kritis terhadap par perawi hadis serta sangat
mengetahui tentang keadaan mereka”.
3.
Berkata Ali, “Saya tidak mengetahui bahwa Malik meninggalkan (tidak
meriwayatkan hadis dari) beberapa perawi, kecuali mereka yang memiliki sesuatu
(cacat) pada riwayat mereka.” Berkata Al-Dawri, dari Ibn Ma’in, “Setiap perawi
yang menjadi sumber Malik dalam pengambilan hadis adalah tsiqat,kecuali
‘Abd al-Karim”.
4.
Abd Allah ibn Ahmad mengatakan, “Aku bertanya kepada ayahku,
‘siapakah yang paling terpercaya di antara sahabat Al-Zuhri?” Ayahku menjawab,
“Malik! Malik adalah yang paling terpercaya dalam segala hal.”
5.
Ibn Sa’ad berkata, “Saya adalah orang yang paling ingat tentang
waktu meninggalnya Malik, yaitu pada bulan Safar tahun 179 H, dan Malik adalah
seorang yang tsiqat, terpercaya, wara’, faqih, alim, dan hujjah.
Dari komentar para kritikus Hadis di atas terlihat secara jelas
bahwa Malik adalah seorang yang tsiqat, paling terpercaya, paling
teliti, dan kritis terhadap para perawi hadis, dan bahkan termasuk bagian dari ashah
al-asanid (yaitu Malik dari Nafi dari Ibn ‘Umar). Oleh karena itu,
pernyataannya bahwa dirinya telah menerima riwayat hadis dari Nafi’ dan ‘Abd Allah
ibn Dinar dapat dipercaya. Dan karenanya pula, dapat dikatakan bahwa sanad
antara Malik dengan Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar adalah dalam keadaan
bersambung (muttashil).
b.
Nafi
Nama
lengkapnya adalah Nafi’ Abu ’Abd Allah al-Madani, dan dia adalah Mawla Ibn
‘Umar. Dia meninggal dunia pada tahun 117 H. Abu Ubaidah Allah mengatakan bahwa
Nafi meninggal pada tahun 119 H, dan pendapat ini didukung oleh Ibn ‘Uyaynah da
Ahmad ibn Hanbal. Pendapat lain mengatakan, dan didukung oleh Abu ‘Umar
al-Thorir, bahwa Nafi’ meninggal pada tahun 120 H. Berkata Ahmad ibn Shalih
al-Mishri bahwa Nafi’ adalah seorang hafiz, jelas keadaannya, dan dia
lebih tua dari Ikrimah di kala ngan penduduk Madinah. Menurut Al-Khalil, Nafi’
adalah salah seoranh imam dari tabi’in di kota Madinah. Dari segi ilmu,
telah disepakati bahwa riwayatnya adalah sahih dan tidak didapati adanya
kesalahan dalamseluruh riwayatnya.
Nafi’
berguru dan menerima hadis dari sejumlah ulama, di antaranya ‘Abd Allah ibn
‘Umar sebagai maula-nya ‘Abu Hurairah, Aabu Lubabah ibn ‘Abd al-Mundzir,
Abu Sa’id al-Khudri, ‘Aisyah, dan lainnya. ‘Abd Allah ibn ‘Umar sebagai maula
dan segi dari Nafi’, adalah sahabat yang memberikan hadis kepada Nafi’.
Nafi’
sendiri mempunyai sejumlah murid yang meriwayatkan hadis darinya, diantara
murid-muridnya adalah ‘Abd Allah ibn Dinar, Shahih ibn Kisan, ‘Abd Rabbih,
Al-Zuhuri, Malik ibn Anas, dan lainnya.
Pernyataan
para kritikus hadis tentang diri Nafi’ adalah seorang yang tsiqat dan al-asaniid
adalah Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar.
Berkata
Basyr ibn AMR DARI malik, “Apabila aku mendengar sebuah hadis Nafi’ dari ibn
Umar maka aku tidak perlu mendengarkan lagi dari yang lainnya .”
Al-Ajali
Madini, Ibn Kharasy, dan Nasa’i mengatakan, bahwa Nafi adalah seorang yang tsiqat.
Para
kritikus hadis mengatakan bahwa Nafi adalah seorang yang tsiqat, bagian
dari ashahh al-asanid (yaitu Malik dari Nafi dari ibn Umar), maka dengan
demikian pernyataan Nafi’ bahwa dia telah menerima riwayat hadis dari ‘Abd
Allah ibn Umar dapat dipercaya dan karenanya, dapat kita katakan bahwa sanad
antara dia dan ibn Umar adalah bersambung.
c.
‘Abd Allah ibn Dinar
Nama lengkapnya dalah ‘Abd Allah ibn Dinar al-Adawi Abu ‘Abd
al-Rahman al-Madani Mawla ibn ‘Umar.
Ibn Dinar meninggal dunia pada tahun 127 H.
Di antara guru Ibn Dinar adalah ‘Abd Allah Ibn ‘Umar, Anas,
Sulaiman ibn Yasar, Nafi’ al-Qurasyi Mawla Ibn ‘Umar, dan Abu Shalih al-Samman.
Para muridnya adalah anaknya sendiri, yaitu ‘Abd al-Rahman, Malik,
Sulaiman ibn Bilal, Syu’bah, Shafwah ibn Salim, ‘Abd al-Aziz ibn al-Majis’n,
dan lainnya.
Pernyataan kritikus hadis tentang dirinya:
Salih ibn Ahmad berkata, berdasarka sumber dari ayahnya, bahwa ‘Abd
Allah Ibn Dinar adalah seorang yang tsiqat lagi benar hadisnya.
Ibn Ma’in, Abu Zar’ah, Abu Hatim, Muhammad Ibn Sa’ad, dan Nasa’i
berpendapat bahwa ibn Dinar adalah tsiqat.
Al-‘Ajali menyatakan bahwa Ibn Dinar adalah seorang yang tsiqat.
Ibn Uyainah berkata bahwa sebelumnya Ibn Dinar bukanlah seorang yang tsiqat.
Tetapi kemudian dia menjadi seorang yang tsiqat.
Al-Laits berkata, berdasarkan sumber dari Rabi’ah, dikatakan bahwa
‘Abd Allah ibn Dinar adalah seorang yang saleh dikalangan para tabi’in dan
seorang yang benar (terpercaya) agamanya.
Ibn Hibban mengelompokkan Ibn Dinar ke dalam kelompok orang-orang tsiqat.
A’bd Allah ibn Dinar berdasarkan pernyataan para kritikus hadis di
atas, adalah seorang yang tsiqat, saleh, dan terpercaya. Justru itu,
pernyataannya bahwa dirinya telah menerima riwayat dari Ibn ‘umar adalah dapat
dipercaya dan karenanya, dapat pula kita nyatakan bahwa sanad antara dia
dengan Ibn Umar adalah bersambung.
d.
‘Abd Allah ibn ‘Umar
Nama lengkapnya ‘Abd Allah ibn ‘Umar ibn al-Khathab ibn Nufail
al-Quraysi al-‘Adawi Abu ‘Abd al-Rahman al-Makki. Dia lahir tidak lama setelah
diangkatnya Nabi Muhammad saw. sebagai rasul. Berdasarkan sumber dari
Al-Zubair, bahwa ketika terjadinya peristiwa Hijrah, Ibn ‘Umar berusia 10
tahun, dan beliau meninggal pada tahun 73 H. Para gurunya adalah Rasulullah
saw., ayahnya (Umar ibn al-Khathab), pamannya (Zaid), Hafshah (saudara
perempuannya) Abu Bakar, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Sa’id, Bilal,
Zaid ibn Tsabit, Shuhaib, Ibn Mas’ud, ‘Aisyah, dan lainnya. Diantara muridnya
adalah anak –anaknya sendiri, Bilal, Hamzah, Zaid, Salim, ‘Abd Allah, ‘Ubaidah
Allah, Nafi’ (Mawalnya), Aslam Mawla ‘Umar, dan banyak lagi muridnya yang lain.
Pernyataan kritikus tentang dirinya.
1.
Hafshah berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda,
‘Sesungguhnya ‘Abd Allah (ibn ‘Umar) adalah seorang yang saleh.”
2.
Zuhri berkata, “Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi
kecerdasannya.”
3.
Ibn Zabr menerangkan, “Dia (Ibn ‘umar) adalah seorang yang paling tsabit.”
Para kritikus hadis telah memberikan penilaian yang baik kepada Ibn
‘umar, dan bahkan Rasulullah saw. sendiri menyatakan bahwa Ibn ‘Umar adalah
seorang yang saleh. Dia juga adalah seorang yang cerdas dan paling tsabit.
Selain itu, tidak seorang pun yang menyaksikan tentang kepribadiannya. Oleh
karena itu, kita dapat mempercayai pernyataannya bahwa dirinya telah menerima
riwayat hadis dari Rasulullah saw., dengan demikian, dapat kita katakan bahwa sanad
antara Ibn ‘Umar dan Rasulullah saw. adalah dalam keadaan bersambung.
4.
Natijah (hukm al-hadits)
Uraian mengenai sanad hadis tentang ketentuan memulai dan
mengakhiri puasa dengan melihat bulan, yang di-takhrij oleh Malik di
atas, menghasilkan beberapa catatan sebagai berikut.
a.
Dari segi kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para
perawinya, terlihat bahwa seluruh perawi yang terlibat dalam periwayatan hadis
tersebut adalah tsiqat.
b.
Dari segi hubungan periwayatan, maka seluruh sanad hadis
tersebut adalah bersambung.
c.
Dari segi mata rantai sanad, maka rangkaian periwayatan
Malik, Nafi’, dan Ibn ‘Umar, dinyatakan sebagai ashahh al-asnid.
d.
Dari segi lambang-lambang periwayatan, hadis di atas tergolong mu’an’an
dan mu’anan, yang diperselisihkan tentang kebersambungan sanad-nya
oleh para ulama hadis. Namun, setelah dilakukan penelitian tentang kualitas
pribadi para periwayatannya dan hubungan periwayat tersebut dengan periwayat
sebelumnya, maka seluruh sanad-nya dinyatakan dalam keadaan bersambung.
e.
Sanad Malik ibn Anas ini juga didapati pada sanad Al-Bukhari
dan Muslim, yang keduanya telah diakui oleh para ulama hadis sebagai dua kitab
sahih (sahihnya).
Berdasarkan
beberapa catatan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadis
yang di-takhrij oleh Malik di atas, hukumnya adalah shahih lidzatini.
5.
Syarh (fiqh) al-hadits
Kewajiban
ibadah puasa Ramadhan adalah merupakan salah satu rukun dari rukun islam yang
lima, dan Alquran, pada QS Al-Baqarah: 183, secara tegas telah menyatakan
kewajiban tersebut, sebagaimana kewajiban yang sama telah ditetapkan Allah
kepada umat sebelumnya. Untuk memulai pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan,
Alquran juga telah menetapkan adanya kesaksian (pengetahuan) tentang telah
datang (masuk)-nya bulan Ramadhan, sebagaimana ditegaskan oleh QS Al-Baqarah:185:
شَهْرُ
رَمَضأنَ أُنْزِلَ فِيْهِ القُرْءَانُ هُدى لِّلنّاسِ وَبَيْنَاتِ مِنَ الهُدَى
والقُرْءَانِ ج فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَسُمْهُ.....
Rasulullah
saw., dalam kepastiannya sebagai penjelasan yang lebih rinci mengenai tata cara
pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan, yang diantaranya adalah tentang keharusan
melihat hilal diawal bulan Ramadhan untuk memulai ibadah puasa, sebagaimana
tersebut di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Malik di atas. Hadis riwayat
Malik tersebut secara lahirnya mewajibkan berpuasa kapan sajaawal bulan
Ramadhan terlihat, apakah dimalam hari atau siang hari. Akan tetapi, kandungan
hadis pada berikutnya, hal ini dipahami dari larangan untuk memulai puasa
Ramadhan sebelum hilal terlihat.
Para Ulama
berbeda pendapat dalam memahami perkataaan Rasul saw. “faqduru lahu”. Sekelompok
ulama, termasuk di antaranya Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa maknanya
adalah tetapkanlah hilal (awal bulan Ramadhan) tersebut, meskipun tertutup oleh
awan. Kelompok ini membolehkan memulai puasa Ramadhan pada hari yang malam hari
sebelumnya tertutup oleh awan. Ibn Suraij dan sekelompok ulama, seperti Mathraf
ibn ‘Abd Allah, Ibn Qutaybah, dan lainnya berpendapat bahwa makna kalimat
tersebut adalah tetapkanlah awal bulan dengan menggunakan hisab, apabila awan
menutupi langit, namun Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan jumhur
ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa maksud perkataan “faqduru
lahu” adaltetapkanlah awal bulan Ramadhan dengan cara menyempurnakan bulan
Sya’ban menjadi 30 hari. Jumhur ulama mengemukakan dalil dengan perkataan “faakmil’
al-iddah” tsalatsin, yang terdapat beberapa riwayat hadis lain dan kalimat
tersebut merupakan tafsir dari kalimat “faqduru lahu”. Jumhur ulama, berkaitan
dengan hadis ini juga, khususnya perkataan “fa in ghumma alaykum”, berpendapat
bahwa tidak boleh melakukan (memulai) puasa Ramadhan pada hari yang diragukan,
dan juga tidak boleh pada hari ketiga puluh Sya’ban, apabila pada malam ketiga
puluh tersebut ditutupi oleh awan.
Hadis diatas
juga menjelaskan bahwa bulan qamariyah kadang-kadang berjumlah 29 hari
dan terkadang 30 hari. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ibn Mas’ud yang
mengatakan, “kami berpuasa bersama-sama dengan Nabi saw. lebih banyak 29 hari
daripada 30 hari”(HR Abu Daud dan Al-Tirmidzi). Pernyataan “fala tashumu
hatta tarawhu” tidaklah mengaitkan memulai puasa dengan penglihatan hilal
oleh setiap orang, tetapi cukup dengan penglihatan sebagian Islam saja, apakah
satu-dua orang, yang adil dan dapat dipercaya.
Dari contoh takhrij
di atas, tergambar bahwa dengan menggunakan dua di antara metode-metode takhrij
yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu takhrij melalui lafal
pertama hadis dan takhrij berdasarkan salah satu lafal dari matan hadis,
yang dalam hal ini lafal sahahhama, penelusuran terhadap hadis tentang
melihat hilal untuk memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan dapat dilakukan
dengan efektif sampai kepada penilaian status dan kualitas hadisnya.[8]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Takhrij Hadits
sebagai bagian dari ilmu hadits merupakan produk ulama terdahulu adalah juga
bagian dari khazanah intelektual dan keilmuan yang patut dilestarikan dan
dikembangkan. Mereka (para ulama terdahulu) telah melakukan “ijtihad
intelektual” dalam tradisi ilmu hadits sehingga takhrij hadits sebagai bagian
kecil dari ilmu tersebut ada dihadapan kita. Karena dengan takhrij hadits telah
banyak memberikan manfaat dan faedah sebagaimana dijelaskan pada bagian awal makalah
ini, dengan metode takhrij, samudra hadits peninggalan Rasulullah
SAW. yang begitu luas dan banyak dapat ditelusuri, dilacak dan diteliti dengan
mudah oleh siapa saja yang ingin mendapat hikmah dari butiran-butiran mutiara
hadits. Metode-metode takhrij hadits dengan kekurangan dan kelebihannya pada
masing-masing metode telah saling melengkapi antara metode yang satu dengan
yang lainnya dalam proses pelacakan dan penelusuran hadits.
DAFTAR
PUSTAKA
At-Thohhan,
Mahmud. 1995. Ushul At-Takhrij Wa Dirosat Al-Asaanid. Semarang: Dina
Utama
‘Itr, Nurudin. 1994. Ulum
Al-Hadits. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Munawar, Agil Husin.
1994. Metode-Metode Takhrij Hadits. Semarang: Dina Utama
Sahrani,Sohari.2010. Ulumul
Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia
Yushar,Nunung. http://www.academia.edu/9377596/Takhrij_Hadits. pada tanggal 21 Februari 2015
pukul 109.42
[1] Nunung Yushar, http://www.academia.edu/9377596/Takhrij_Hadits, pada tanggal 21 Februari 2015
pukul 109.42
[2] Mahmud
At-Thohhan, Ushul At-Takhrij Wa Dirosat Al-Asaanid , (Semarang: Dina
Utama, 1995), hlm. 15-16
[4] Ibid.,
hlm. 194
[5] Op Cit., hlm.
21
[8] Loc Cit., hlm.
203-213
0 comments:
Post a Comment