Friday 25 September 2015



MAKALAH
 TAKHRIJ HADITS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits
Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan
Dosen pengampu : AENUROFIK, M. A

 



1.    Fatchurahman Ali                  (2021114145)
2.    M Aishul Huda                     (2021114279)
3.    Dewi Astini                           (2021114034)
4.    Vina Zakiyah                         (2021114179)
Kelas : PAI D

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI  (STAIN)
PEKALONGAN
2015


KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemudahan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah kami yang berjudul “Takhrij Hadits” mata kuliah Ulumul Hadit. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad saw., beserta keluarga, shahabat dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.
Makalah ini menjelaskan tentang Apa Pengertian Takhrij Hadits, Sejarah Ilmu Tahrij, Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadits, Metode-Metode Dalam Takhrij Hadits, Urgensi Manfaat dan Orientasi Takhrij. Dengan demikian materi makalah ini diharapkan dapat membantu proses belajar mahasiswa.
Teriring ucapan terima kasih kepada Bapak Aenurofik selaku pembimbing kami dalam pembelajaran mata kuliah Ulumul Hadits, juga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta motivasi kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan dan peningkatan kualitas makalah di masa yang akan datang dari pembaca adalah sangat berharga bagi kami.
Demikian makalah ini kami susun, semoga makalah ini bisa menambah keilmuan dan bermanfaat bagi kita semua serta menjadi tambahan referensi bagi penyusunan makalah dengan tema yang senada diwaktu yang akan datang. Aamiin yaa robbal ‘alamin.

Pekalongan, 21 Februari 2015

                                                                       Penulis


DAFTAR ISI

Halaman Judul ..........................................................................................    i
Kata Pengantar .........................................................................................   ii
Daftar Isi ..................................................................................................  iii
Bab I Pendahuluan ...................................................................................   1
A.      Latar Belakang Masalah ..................................................................   1
B.       Rumusan Masalah ...........................................................................   1
C.       Metode Pemecahan Masalah ...........................................................   2
D.      Sistematika Penulisan Masalah .......................................................   2
Bab II Pembahasan ...................................................................................   3
A.      Pengertian Takhrij Hadits ...............................................................   3
B.       Sejarah ilmu Takhrij ........................................................................   6
C.       Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadits ................................................   7
D.      Cara Pelaksanaan dan Metode Takhrij ............................................  10
E.       Urgensi Manfaat dan Orientasi Takhrij ...........................................  10
F.        Hal Yang Mendasar Dalam Takhrij Hadits .....................................  11
G.      Kitab-Kitab Takhrij .........................................................................  13
H.      Contoh Takhrij ................................................................................  15
Bab III Penutup ........................................................................................ 26
A.      Kesimpulan .....................................................................................  26

Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Langkah awal dalam melakukan kegiatan penelitian hadis adalah Takhrij al-Hadis. Kegiatan ini sangat penting karena tanpa kegiatan ini terlebih dahulu maka akan sulit untuk diketahui asal usul riwayat hadis yang akan diteliti. Kegiatan penelitian hadis baik dari segi sanad maupun dari segi matan sangatlah penting. Upaya penelitian terhadap hadis-hadis yang tertuang dalam beberapa kitab hadis merupakan sebuah keharusan. Karena kitab-kitab hadis yang disusun oleh para mukharrij-nya masing-masing memuat riwayat hadis baik sanad-nya maupun matan-nya. Artinya para mukharrij bersikap terbuka dengan mempersilahkan para ahli yang berminat untuk meneliti semua hadis yang terhimpun dalam kitab hadis yang mereka susun.
Latar belakang pentingnya penelitian hadis adalah hadis nabi sebagai salah satu sumber ajaran islam, dan tidak seluruh hadis tertulis pada zaman nabi. Selain itu telah timbul berbagai pemalsuan hadis. Juga di sisi lain telah terjadi periwayatan secara makna karena jumlah kitab hadis yang banyak dengan penyusunan yang beragam serta proses penghimpunan hadis memaka waktu yang lama.[1]
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang perlu kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan untuk terfokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan makalahnya sebagai berikut :
1.      Apa Pengertian Takhrij Hadits?
2.      Bagaimana sejarah Ilmu Tahrij?
3.      Apa Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadits?
4.      Bagaimana Metode-Metode Dalam Takhrij Hadits?
5.      Apa Urgensi Manfaat dan Orientasi Takhrij?
6.      Apa Kitab-Kitab Yang Dibutuhkan Dalam Takhrij Hadits?

C.     Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah yang dilakukan melalui study literatur atau metode kajian pustaka, yaitu dengan menggunakan beberapa referensi lainnya yang merujuk pada permasalahan yang dibahas. Langkah-langkah pemecahan masalahnya dimulai dengan menentukan masalah yang akan dibahas dengan melakukan perumusan masalah, melakukan langkah-langkah pengkajian masalah, penentuan tujuan dan sasaran, perumusan jawaban permasalahan dari berbagai sumber, dan penyintesisan serta pengorganisasian jawaban permasalahan.
D.       Sistematika Penulisan Makalah
Makalah ini ditulis dalam tiga bagian, meliputi: Bab I Pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah, perumusan masalah, metode pemecahan masalah, dan sistematika penulisan makalah; Bab II, adalah Pembahasan; Bab III, bagian penutup yang terdiri dari Kesimpulan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pegertian Takhrij Hadis
Menurut bahasa berasal dari kata khuruj (keluar) lawan dari dukhul (masuk). Khuruj terkadang berarti Ibros dan Idzhar (menampakkan). Takhrij di kalangan ahli hadits artinya menampakkan tempat keluarnya hadits dengan menyebut para perawi isnadnya. Menurut Ibnu Sholah (Ulum Al-Hadits) Takhrij persamaan dari kata ikhroj, yang berarti menampakkan hadits kepada orang lain dengan menyebut tempat pengambilannya. Artinya para tokoh isnadnya yang mentakhrij hadits itu disebutkan. Misal: Hadits yang dikeluar- kan oleh Bukhari, atau ditakhrij oleh Bukhari. Artinya ia meriwayatkannya dan menyebut tempat dikeluarkannya secara independen.[2]
Takhrij Hadis adalah merupakan bagian dari kegiatan penelitian hadis. Dua kata lain yang mempunyai kata dasar yang sama dari kata khara-ja, yaitu ikhraj dan istikraj, yang penggunaannya sedikit berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Kata ikhraj dalam terminologi ilmu hadis berarti:
فَهُوَرِوَايَةِاْلحَدِيْثِ بِاْلاَسْنَادِمِنْ مَخْرَجِهِ وَرَاوِيَةِ اِلى رَسُوْلِ اللَه صَلَى اللَهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ اِنْ كَانَ
مَرْعًا ,أَوْ اِلَى الصَحَابِى اِنْكَانَ مَوْقُوْفًا, أَوْ اِلَى التَّابِعِي اِنْ كَانَ مَقْ عًاز                       
Yaitu, periwayatan hadis dengan menyebutkan sanad-nya mulai dari mukharij-nya dengan parawinya sampai kepada Rasul saw. jika hadis tersebut marfu’, atau sampai kepada sahabat jika hadis tersebut mawafuq, atau sampai kepada tabi’in jika hadis tersebut maqthu’’.
Suatu hadis yang sebelumnya tidak diketahui keadaannya sehingga seolah-olah dianggap tidak ada, maka dengan ikhraj, yaitu penyebutan sanad-nya secara bersambung sampai kepada yang mengucapkannya, hadis tersebut akan menjadi jelas eksistensinya dan akan diketahui kualitasnya sehingga dapat diamalkan.
Istikhraj dalam istilah ilmu hadis adalah:
فَهُوَاَنْ يَقْصِدَاْلحَافِظُ اَلاَّ مُصْحَفِ مُسْنَدِلِغَيْرِهِ فَيَخْرُخُ اَحَادِيْثِهِ بِأسَانِدِى فَسَهُ مِنْ غَيْرِ طَاحِبِ اْلكِتَابِ فَيُجْمَعُ مَعَهُ فِى ثَيْخُهُ وَهُكُوْدًا اِلَى صَحَايِثُ بِشَرْطِ اَنْ لَايُوَرِدُاْلحَدِيْثِ المَذْكُوْرِ مِنْ حَدِيْثِ صَحَابِى اَخَرْبَلْ لَابُدَ اَنْ يَكُوْنَ مِنْ حَدِيْثِ ذَلِكَ الصَحَابِى نَفْسِهِ                          
Yaitu, bahwa seorang hafiz (ahli hadis) menentukan (memilih) suatu kitab kumpulan hadis karya orang lain yang telah disusun lengkap dengan sanad-nya, lalu dia mentakhrij hadis-hadisnya dengan sanad-nya sendiri tanpa mengikuti jalur sanad penyusun kitab tersebut. (Akan tetapi) jalur sanad-nya itu bertemu dengan sanad penulis buku tersebut pada gurunya atau guru sebagai penerima hadis pertama, dengan syarat bahwa hadis tersebut tidak datang dari sahabat lain, tetapi mestilah dari sahabat yang sama.
Sebagai contoh, seseorang bermaksud melakukan istikhraj terhadap kitab Shahih al-Bukhari. Hadis pertama di dalam kitab tersebut adalah hadis tentang niat, yaitu:
اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّياتِ.....
Hadis niat tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dari gurunya Al-Humaidi, dari Sufyan ibn Uyainah, dari Yahya ibn Said al-Anshari, dari Ibrahim al-Taimi, dari Al-Qamah ibn Waqqash al-Laitisi, dari ‘Umar ibn al-Khatahab. Seseorang mustakhrij (yang melakukan ikhtiraj) akan menyandarkan hadis tersebut dengan sanad-nya sendiri kepada al-Humaidi, guru Bukhari, atau jika dia tidak menyandarkannya kepada Al-Humaidi, dia akan menyandarkannya kepada Sufiyan ibn Uyainah, guru Al-Humaidi, dan jika dia akan meriwayatkan hadis tersebut dengan menyandarkannya kepada Yahya ibn al-Mubarak atau ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi atau parawi selain mereka yang meriwayatkan hadis tersebut dari Yahya ibn Sa’id al-Anshar, yang jumlahnya menurut sebagian ulama hadis mencapai 700 orang. Demikianlah seterusnya. Apabila dia, yaitu mustakhrij tersebut tidak menyandarkannya kepada Yahya, maka dia meriwayatkan hadis tersebut dengan sanad-nya sendiri dengan menyandarkannya kepada Al-Taimi, atau kepada Al-Qamah ibn Waqqash, atau kepada Umar ibn kepada Abi Sa’id Khudri atau Abu Hurairah, atau Anas, atau Ali r.a., yang kesemuanya adalah sahabat yang juga meriwayatkan hadis niat tersebut, yang rangkaian sanad-sanadnya dinilai dha’if oleh para ulama hadis. Jadi, apabila pada tingkat sahabat tidak bertemu sanadnya dengan sanad Bukhari dalam hadis niat tersebut, maka kegiatannya itu tidaklah dinamai dengan istikhraj, tetapi dinyatakan hadisnya itu sebagai hadis musni dengan periwayatannya sendiri.
Takhrij, secara bahasa berarti:
اِجْمَاعُ اَمْرَيْنِ مُتَضَاَدَّيْنِ شَيْءٍ وَاحِدٍ
Berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam satu masalah.
Selain itu, takhrij secara bahasa juga menandung pengertian yang bermacam-macam, dan yang popular diantaranya adalah:
(i) al-istinbath (mengeluarkan), (ii) al-tadrib (melatih atau membiasa- kan), (iii) al-tawjih (memperhadapkan).
Secara terminologi, takhrij berarti:
عَزْوُاْلاَحَادِيْثِ اَلَّتِى تُذْكِرُفِى اْلمُصَنَفَاتِ مُعَلَّقَةُ غَيْرَ مُسْنَدَةِ وَلَامُعْزُوَّةِ
اِلَى كِتَابِ اَوَئْكُتُبٍ مُسْنَدَةٍ, اَمَّا مَعَ اْلكَلَامِ عَلَيْهَا تَصْحِيْحًا وَتَضْعِيْفًاوَرَدَّا
وَقُبُوْلًا وبَيَانِ مَافِيْهَا مِنَ اْلــلِ, وَاَمَّا بِاْلاِقْتِصَارِعَلَي اْلغَزْوِاِلَــى الأُصُوْلِ
Mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagi kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad, baik disertai dengan pembicaraaan tentang status hadis-hadis tersebut dari segi sahih atau dha’if, ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekedar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal (sumber)-nya.
Al-Thahan, setelah menyebutkan beberapa macam pengertian takhrij      di kalangan ulama hadis, menyimpulkan sebagai berikut:
هُوَالدَّلاَلَةُعَلَى مَوْضِعِ اْلحَدِيْثِ فِى مُصَادِرِهِ اْلأَصْلِيَةِ اَلَّتِى اَخْرَجَتْهُ
 بِسَنَدِهِ ثُمَّ بَيَانِ مَارَاتِبِه عِنْدَاْلحَجَاةِ
Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumber-sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanad-nya masing-masing, kemudian manakala diperlukan, dijelaskan kualitas hadis yag bersangkutan.
Yang dimaksud dengan menunjukan letak hadis dalam definisi di atas adalah menyebabkan berbagai kitab yang di dalamnya terdapat hadis  tersebut, seperti hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitab Shahih-nya, atau Al-Thabari di dalam Tafsir-nya, atau kitab-kitab sejenis yang memuat hadis tersebut.
Sedangkan yang dimaksud “sumber-sumber hadis yang asli“ adalah kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Nabi saw. yang diperoleh oleh penulis kitab tersebut dari para gurunya, lengkap dengan sanad-nya, sampai kepada Nabi saw. Kitab-kitab tersebut, seperti Al-Kutub al-sittah, Muwaththa’Malik, Mustadrak al-hakim.
Yang dimaksud dengan “menjelaskan status dan kualitas hadis tersebut ketika dibutuhkan” adalah menjelaskan kualitas hadis tersebut apakah sahih, dha’if atau lainnya, apabila hal tersebut diperlukan. Oleh karenannya, menjelaskan status dan tingkatan hadis bukanlah sebagai penyempurna yang akan dijelaskan manakala diperlukan.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa hakikat dari takhrij al-hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis sebagai sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanad-nya.
B.  Sejarah Ilmu Takhrij
Pada mulanya, menurut Al-Thahan, ilmu takhrij al-hadits tidak dibutuhkan oleh para ulama dan peneliti hadis karena pengetahuan mereka tentang sumber hadis ketika itu sangat luas dan baik. Hubungan mereka dengan sumber hadis juga kuat sekali, sehingga apabila mereka dapat menjelaskan sumber hadis tersebut dalam berbagai kitab hadis, yang metode dan cara-cara penulisan kitab-kitab hadis tersebut mereka ketahui. Dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka dengan mudah dapat menggunakan dan mencari sumber dalam rangka men-takhrij hadis. Bahkan, apabila di hadapan seorang sumber aslinya, ulama tersebut dengan mudah dapat menjelaskan sumbeer aslinya.
Ketika para ulama mulai merasa kesulitan untuk mengetahui sumber dari suatu hadis, yaitu setelah berjalan beberapa periode tertentu dan setelah berkembangnya karya-karya ulama dalam fikih, tafsir dan sejarah, yang memuat hadis-hadis Nabi saw. yang kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya, maka ulama hadis terdorong untuk melakukan takhrij terhadap karya-karya tersebut. Pada saat itu, munculah kitab-kitab takhrij, yang pertama muncul adalah karya Al-Khatib al-Baghdadi (w.463 H), namun yang terkenal adalah Takhrij al-Fawa’id al-Muntakhabah al-Shihah wa al-Ghara’ib karya Syarif Abi al-Qasim sl-Husaini, Takhrij al-Fawa’id al-Muntakhabah al-Shihah wa al-Ghara’ib karya Abi al-Qasim al-Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Syafi’i (w. 584 H). Kitab Al-Muhdzdzab sendiri adalah kitab fikih mazhab Syafi’i yang disususn oleh Abu Ishaq al-Syirazi.
Kitab-kitab induk hadis yang ada, mempunyai susunan tertentu dan berada antara yang satu dan yang lainnya, yang hal ini memerlukan cara tertentu secara ilmiah agar penelitian dan pecarian hadisnya dilakukan sengan mudah. Cara praktis dan ilmiah inilah yang merupakan kajian pokok ilmu takhrij.
Menurut Mahdi, ilmu takhrij pada awalnya adalah berupa tuturan yang belum tertulis. Hal ini dimaksudkannya sebelum munculnya kitab-kitab takhrij seperti Takhrij, al-Fawa’id al-Muntakhabah karya Abu Qasim al-Husayni, Takhrij al-Fawa’id al-Muhadzdzab karangan Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Syafi’i, seperti yang telah disebutkan tadi.
C.  Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadis
          Penguasaan tentang ilmu takhrij sangat penting, bahkan merupakan suatu kemestian bagi setiap ilmuan yang berkecimpung di bidang ilmu-ilmu kesyariahan, khususnya yang menekuni bidang hadis dan ilmu hadis. Dengan mempelajari kaidah-kaidah dan metode takhrij, seseorang akan dapat mengetahui bagaimana cara untuk sampai kepada suatu hadis didalam sumber-sumbernya yang asli yang pertama kali disususn oleh para ulama mengkodifikasi hadis. Dengan mengetahui hadis di dalam buku-buku sumbernya yang asli, sekaligus akan mengetahui sanad-sanad-nya akan memudahkan untuk melakukan penelitian sanad dalam rangka untuk mengetahui status dan kualitasnya. Kebutuhan ini akan sangat dirasakan ketika menyadari bahwa sebagian para penyusun kitab-kitab dalam bidang fikih, tafsir dan sejarah yang memuat hadis-hadis Nabi saw., tidak meuliskan hadis-hadis tersebut secara sempurna; merekakadang-kadang hanya meringkas hadis-hadis tersebut pada bagian-bagian yang mereka perlukan saja atau pada saat tertentu, mereka menuliskan lafaz hadisnya dan pada saat yang lain maknanya saja, bahkan kadang-kadang ada yang menuliskan lafaz hadisnya, namun tanpa menyebutkannya sebagai hadis karena hadis tentang niat atau tentang sebaik-baik urusan adalah pertengahan, dan sebagainya. Selain itu, juga terdapat penyebutan hadis tanpa memberikan klarifikasi apakah statusnya marfu’ mauquf, atau maqthu’ yang tentunya berlanjut kepada status dan kualitas hadis tersebut.
          Selanjutnya, mengenai tujuan dan manfaat takhrij al-hadits ini, ‘Abd al-Mahdi melihatnya secara terpisah antara yang satu dan yang lainnya. Menurut ‘Abd al-Mahdi, yang menjadi tujuan dari takhrij adalah menunjukkan sumber hadis dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadis tersebut.
Dengan demikian, ada dua hal yang menjadi tujuan takhrij, yaitu:
·    Untuk mengetahui sumber dari suatu hadis, dan
·    Mengetahui kualitas dari suatu hadis, apakah dapat diterima (sahih atau hasan) atau ditolak (dha’if).
Manfaat takhrij banyak sekali. ‘Abd al-Mahdi menyimpulkannya sebanyak dua puluh manfaat.
1.      Memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitab-kitab asal dari suatu hadis beserta ulama yang meriwayatkannya.
2.      Menambah perbendaharaan sanad hadis melalui kitab-kitab yang ditunjukkannya.
3.      Memperjelas keadaan sanad, sehingga dapat diketahui apakah munaqthi atau lainnya.
4.      Memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayatnya, seperti hadis dha’if melalui suatu riwayat, maka dengan takhrij kemungkinan akan didapati riwayat lain yang dapat mengangkat status hadis tersebut kepada derajat yang lebih tinggi. 
5.      Mengetahui pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadits.
6.      Memperjelas perawi hadis yang samar karena dengan adanya takhrij, dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
7.      Memperjelas perawi hadis yang yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan diantara sanad-sanad.
8.      Dapat menafikkan pemakaian “an” dalam periwayatan hadis oleh seorang perawi mudallis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas kebersambungan sanad-nya, maka periwayatannya yang memakai “an” tadi akan tampak pula kebersambungan sanad-nya.
9.      Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
10.  Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain, mak nama perawi itu akan menjadi jelas.
11.  Dapat memperkenalkan periwayatannya yang tidak terdapat dalam satu sanad.
12.  Dapat memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam satu sanad.
13.  Dapat menghilangkan syadz (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat perawi yang lebih tsiqat) yang terdapat pada suatu hadis melalui perbandingan riwayat.
14.  Dapat membedakan hadis yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.
15.  Dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.
16.  Dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh perawi.
17.  Dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan lafadz dan yang dilakukan dengan makna saja.
18.  Dapat menjelaskan masa dan tempat kejadian timbulnya hadis.
19.  Dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis melalui perbandingan sanad-sanad yang ada.
20.  Dapat mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui perbandingan-perbandingan ­sanad yang ada.[3]
D.  Cara Pelaksanaan dan Metode Takhrij
Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu sebagai berikut.
1.    Takhrij menurut lafal pertama matan.
2.    Takhrij menurut lafal-lafal yang terdapat di dalam matan hadis.
3.    Takhrij menurut perawi pertama.
4.    Takhrij menurut tema hadis.
5.    Takhrij menurut klasifikasi (status) hadis.[4]
E.  Urgensi Manfaat dan Orientasi Takhrij
Tidak diragukan lagi bahwa mengetahui disiplin ilmu takhrij sangat penting bagi orang yang menggeluti ilmu-ilmu syar’i, mempelajari kaidah-kaidahnya dan metodenya, agar ia mengetahui bagaimana sampai kepada hadits tersebut pada sumber-sumbernya yang orisinal. Manfaat takhrij amat besar, terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam hadits. Sebab dengan perantaraanya seseorang mendapat petunjuk kepada salah satu sumber hadits pertama yang disusun oleh para tokoh/ imam hadits.
Kebutuhan terhadap takhrij supaya pencari ilmu dapat diperkuat oleh suatu hadits atau ia meriwayatkannya setelah ia mengetahui ulama - para penyusun  yang meriwayatkan hadits dalam kitabnya sebagai musnad (sandaran).
Karena itu disiplin ilmu takhrij sangat dibutuhkan oleh setiap peminat, atau oleh orang yang menggeluti ilmu-ilmu syar’i dan sesuatu yang terkait dengannya.[5]


F.   Hal Yang Mendasar Dalam Takhrij Hadits
Mentakhrij matan suatu hadits berarti mengungkap perawi hadits tersebut dalam kitabnya disertai bab dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kitab tersebut.
Setelah mentakhrij suatu hadits hendaknya dapat menjelaskan sekitar hadits tersebut seluas mungkin, seperti tentang keshahihannya,ketersambungan sanadnya dan lain-lain. Ini tentunya dengan cara membandingkan diantara sanad-sanadnya yang ada.
Bila kita dihadapkan upaya mencari hadits dengan shahabat sebagai penerima dari Nabi SAW lebih dari satu, maka kita harus mencari shahabat yang meriwayatkannya keseluruhan seperti yang diminta. Seperti : suatu hadits diriwayatkn oleh ulama hadits dan dua shahabat (A dan B). Hadis dengan perawinya A dikeluarkan oleh Fulan dalam kitabnya (nama kitab kumpulan hadistnya) dalam bab ini, jilid sekian, halaman sekian, nomor hadits sekian dan lain-lain dengan menyebutkan nama-nama perawi yang terdapat dalam sanadnya. Adpun hadits dengan perawinya B dikeluarkan oleh Fulan dalam kitabnya (nama kitab haditsnya) dan seterusnya seperti diatas.  
Dan bila dihadapkan upaya mencari hadits dengan shahabat sebagai penerima dari Nabi satu orang, maka cukuplah kita mencarinya pada satu shahabat itu. Namun bila kebetulan mendapatkan shahabat yang lain meriwayatkannya dari Nabi, maka kedudukan hadits itu adalah sebagai syahid terhadap hadits yang kita cari. Kewajiban kita hanyalah meneliti seluk beluk hadits selain yang menjadi syahidnya itu. Akan lebih baik bila disertakan pula hadits syahidnya itu.
Yang menjadi sasaran pokok mencari hadits adalah materinya. Dan hendaknya kita tidak terkecohkan oleh perbedaan lafal. Selama ada kesamaan shahabat dan kesamaan pengertian dalam susunan kalimatnya, tetap dinamakan hadits. Memang wajar bila dalam suatu hadits terdapat perbedaan kata dalam matan. Imam Zaila’i berkata: “Kewajiban seorang muhaddits hanyalah membahas materi hadits dan meneliti perawi yang mengeluarkannya. Adapun perbedaan lafal, tambahan atau pengurangan tidak banyak mempengaruhi.”
Imam Al-Sakhawi berkata: ”Para ahli takhrij tidak berbuat sendiri-sendiri terhadap haditsnya. Kebanyakan mereka berbuat menurut kitab induk hadits-hadits tersebut dan begitu pula sanad-sanadnya. Setelah menyelesaikan suatu hadits, mereka berterus terang menisbatkannya kepada, katakanlah, Imam Bukhari atau Imam Muslim atau kepada keduanya, sekalipun terdapat perbedaan lafal dengan beliau berdua. Yang mereka kehendaki hanyalah materi pokok hadits.”
Al-Hafihz al-‘Iraqi dalam pengantar kitabnya yang bernama
اَلْمُغْنِى عَنْ حَمْلِ الْاَسْفَارِفِى اْلاَفَارِفِى تَخْرِيْجِ مَا فِى اْلاِحْيَاءِ مِنَ اْلاَخْبَارِ.       Berkata : “Saya menisbatkan Hdits kepada Ulama yang mengeluarkannya, bukan kepada perbedaan lafalnya.”
Dan dalam kitabnya yang lain  تَقْرِيْبُ اْلاَسَانِيْدِ
Beliau berkata : ”Sengaja saya menisbatkan Hdits kepada Ulama yang mengeluarkanHadits tersebut, karena yang saya inginkan adalah materi Hadits tersebut dan bukan lafal Hadits itu sendiri menurut ketentuan-ketentuan mustakhraj.”
Dengan demikian dapatlah kita katakan bahwa Takhrij mengenalkan kitab-kitab induk hadits dengan segala seluk-beluk hadits tersebut berikut metode-metode yang di dipakainya. Akan lebih baik lagi bila ini menambah kemudahan –kemudahan mencapai tujuan.
Materi-materi keislaman diantaranya bersumber kepada Sunnah Nabi Untuk mencari suatu Hadits mengharuskan penggunaan ilmu Takhrij. Dengan Ilmu Takhrij ini kita tahu kitab-kitab terdapatnya Hadits-Hadits yang menjadi bahasannya.
Takhrij tidaklah terbatas pada matan Hadits, akan tetapi mencakup:
·           Mentakhrij matan hadits dari berbagai kitab induknya.
·           Mentakhrij sanad-sanad Hadits beserta biografi dan penilaian terhadap perawi.
·           Mentakhrij lafal-lafal yang asing melalui kitab-kitab yang berhubungan dengan itu.
·           Mentakhrij lokasi kejadian dalam hadits melalui kitab-kitab yang dikarang untuk itu.
·           Mentakhrij nama-nama karangan melalui kitab-kitab yang diperuntukan bagi bidangnya.
Seseorang dapat dikatakan sebagai peneliti, bila benar-benar telah dapat memastikan Hadits-Hadits secara tepat. Dia berpedoman kepada ilmunya. Bahkan dengan ilmunya tersebut dia akan lebih banyak lagi tahu mengenai objek penelitiannya.[6]
G. Kitab-kitab Takhrij
Yaitu kitab-kitab yang disusun untuk men-takhrij hadits-hadits kitab tertentu.
Diantara takhrij yang terpenting adalah:
1)        Nashbu al-Rayah li Ahadits al-Hidayah karya imam al-Hafizh Jamaluddin Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf al-Zaila’i al-Hanafi. Kitab ini merupakan takhrij hadits-hadits kitab Al-Hidayah, sebuah kitab fiqih mazhab Hanafi, yang disusun oleh Ali bi Abu Bakar al-Marghinani, salah seorang pemuka fuqaha Hanafi.
Kitab ini mengungkap secara lengkap riwayat-riwayat yang penuh faidah, dan mengupas setiap hadits yang ada dalam kitab al-Hidayah, disertai riwayat dan hadits-hadits lain yang menguatkannya. Kitab ini juga mengungkapkan pembahasan mengenai hadits-hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berbeda pendapat dengan ulama Hanafiyah, secara jelas dan tuntas, objektif dan tematis.
Semua ini menunjukkan kedalaman dan penguasaan al-Zaila’i dalam bidang ilmu hadits, sehingga para ulama setelah menuruti jejaknya.
2)        Al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij Ma fi al-Ihya’ min al-Akhbar karya al-Hafizh al-Kabir al-Imam Abdurrahim bin al-Husain al-Iraqi, guru al-Hafizh Ibnu Hajar. Ia adalah orang nomor satu dalam bidang ilmu hadits pada waktu itu.
Kitab ini merupakan takhrij hadits-hadits sebuah kitab yang teramat penting dan terkenal di kalangan muslimin, yaitu kitab Ihya’ al-Din karya Imam Ghazali.
Metode penulisannya adalah dengan menyebutkan sebagian dari tiap hadits al-Ihya’ lalu menjelaskan orang yang mengeluarkannya dan sahabat yang meriwayatkannya, kemudian menjelaskan kualitasnya, baik shahih, hasan, maupun dha’if.
Kitab ini dicetak menyatu dengan kitab al-Ihya’, dan merupakan ringkasan dari takhrij yang besar dan luas yang disusunnya, dan kini tidak dapat dijumpai lagi. Al-Zubaidi menyertakan takhrij yang besar itu ke dalam syarah al-Ihya’ yang disusunnya.
3)      Al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi’i al-Kabir karya Ibnu Hajar.
Kitab ini merupakan takhrij hadits-hadits al-Syarh al-Kabir karya al-Rafi’i, yang merupakan syarah al-Wajiz fi al-Fiqh al-Syafi’i karya Imam al-Ghazali. Kitab ini juga merupakan kesimpulan dari kitab-kitab takhrij serupa yang telah disusun sebelumnya. Ide itu diperoleh penyusunnya setelah ia membaca Nashb al-Rayah karya al-Zaila’i. Dengan demikian, kitab ini tampil lengkap dan mencakup keterangan-keterangan yang berserakan di dalam kitab-kitab sebelumnya.
Teknik penyusunannya adalah dengan menyebutkan sebagian cuplikan tiap hadits yang terdapat dalam al-Syarh al-Kabir kemudian menyebutkan tempatnya pada sumber-sumbernya lengkap dengan sanad-sanadnya serta para rawinya, kemudian membicarakan setiap rawi dengan rinci yang menyangkut jarh dan ta’dil-nya serta kesahihan dan kedha’ifan-nya. Kemudian menyebutkan hadits-hadits yang semakna denannya.
Oleh karena itu, kitab ini menjadi rujukan hadits-hadits hukum yang sama sekali tidak dapat diabaikan.[7]


H.  Contoh Takhrij
Berikut adalah contoh takhrij hadis Nabi saw. tentang keharusan memulai ibadah puasa Ramadhan dan mengakhirinya dengan melihat hilal. Contoh berikut ini akan meneliti hadis Malik yang berbunyi:
عَنْ مَالِكِ عَنْ نَافِعِ وَعَبْدِاللهِ بْنِ دِيْنَارِ عَنِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَاى الهِلاَلِ وَلاَتُفْطِرُوْاتَرَوَّهُ, فَاِنَّ عَلَيْكُمْ فَاقَدِّرُوْاقَدَرَلَهُ
Dari Malik, dari Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar, dari Ibn ‘Umar, bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu berpuasa (puasa Ramadhan) sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka (ber’Idul Fitri) sehingga kamu melihatnya. Jika hilal tersebut tertutup dari pandanganmu, maka tentukanlah ukurannya (bilangannya).
Secara sistematis, langkah-langkah yang dilakukan dalam men-takhrij hadis di atas adalah sebagai berikut: (1) takhrij al-hadis, (2) al-i’tibar, (3) tarjam’ah al-ruwat dan naqd al-sanad, (4) natijah (al-hukm ‘ala al-hadits), serta (5) fiqh al-hadits (syarh al-hadits).
1.      Takhrij al-hadits
Hadis di atas, yang membicarakan tentang keharusan melihat hilal untuk memulai dan mengakhiri ibadah puasa Ramadhan diriwayatkan oleh Malik dari dua orang guru-nya, yaitu Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar, dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar.
Ketika ditelusuri lafal hadis tersebut berdasarkan awal kosa katanya (metode pertama) dengan menggunakan kitab Mu’jam Jami’al al-Ushul fi Ahadits al-rasul, ditemukan lima riwayat hadis, tetapi dengan melakukan takhrij al-hadits bi’al-lafaz (berdasarkan kata-kata pada matan hadis, yaitu metode kedua) dengan mempergunakan kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Hadits al-Nabawi, dengan menelusuri kosa kata shawana , ditemukan 6 (riwayat) hadis, yaitu dengan tambahan riwayat Ahmad atas kelima riwayat yang terdapat pada Jami’al al-Ushul. Keenam riwayat tersebut terdapat pada:
·         kitab Al-Muwaththa’ Imam Malik, halaman 177: hadis nomor 633, 634;
·         kitab Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman 62-63: hadis nomor. 16-17.;
·         kitab Shahih Muslim, juz 3, halaman 133: hadis nomor 3;
·         kitab Shahih Muslim, juz 6, halaman 435-436: hadis nomor 2302;
·         kitab Shahih Al-Nasa’i, juz 6, halaman 108: hadis nomor 2;
·         kitab Musnad Imam Ahmad ibn Hambal, juz 2, halaman 337: hadis nomor 5294;
untuk kepentingan kegiatan i’tibar, sebagai langkah berikutnya dalam penelitian ini, dengan ini dikutipkan matan dan sanad yang di-takhrij oleh Malik, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Nasa’i, dan Ahmad ibn Hanbal sebagai berikut.
a.       Pada Muwaththa’ Malik terdapat dua riwayat:
·         Riwayat yang datang dari Nafi’ adalah:
عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ وَعَبْدِاللهِ بْنِ دِيْنَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوُاالهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ.  
·         Riwayat yang berasal dari ‘Abd Allah ibn Dinar, berbunyi:
عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ وَعَبْدِاللهِ بْنِ دِيْنَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلاَ تَصُومُواحَتَّى تَرَوُااْلهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ.                                                                             
b.      Didalam Shahih al-Bukhari, matan dan sanad-nya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَاعَبْدِاللهِ بْنِ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ وَعَبْدِاللهِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُواحَتَّى تَرَوُاالهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ.                                                                                         
حَدَّثَنَاعَبْدِاللهِ بْنِ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ وَعَبْدِاللهِ ابْنِ دِينَارٍعَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: تَصُوْمُواحَتَّى تَرَوُاالهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ.                                                                  
c.       Di dalam Shahih Muslim, matan dan sanad-nya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنِ يَحْيَى قَالَ:قَرَأْتُ عَلَى نَافِعٍ عَنِ بْن عُمَرَ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَر رَمَضَانَ فَقَالَ: تَصُوْمُواحَتَّى تَرَوُاالهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ.                                                                                     

d.      Di dalam Sunan Abu Dawud, matan dan sanad-nya adalah:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنِ دَاوُدَ اْلعَتَكِيُّ اَخْبَرَنا حَمَّادُ أَخْبَرَنَا اَيُّوْبُ عَنْ نَافِعٍ عَنِ بْن عُمَرَ قَالَ:
قَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلاَ تَصُوْمُواحَتَّى تَرَوُاالهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ.                          
e.       Di dalam Sunan Nasa’i, matan dan sanad-nya adalah:
اَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ ابْنِ سَلَمَةَ وَاْلحَارِثُ بْنُ سِكِّيْنَ قِرَأَةُ عَلَيْهِ وَأَنَا اَسْمَعُ وَاللَّفْظُ لَهُ، عَنِ بْنِ القَاسِمِ عَنْ مَالِكِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ بْنِ عُمَرَأَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُواحَتَّى تَرَوُاالهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ.                                                                                           
f.       Di dalam Musnad Imam Ahmad, matan dan sanad-nya adalah:
حَدَّثَنَاعَبْدُاللهِ، حَدَّثَنِي اَبِي، حَدَّثَنَاعَبْدُالرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا مَالِكٍ نَافِعٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُواحَتَّى تَرَوُاالهِلاَلَ وَلاَ تَفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ.                                                         
Apabila diperhatikan redaksi dari matan hadis-hadis yang dikutip di atas, terdapat sedikit perbedaan antara yang satu dan lainnya. Pada riwayat Malik yang berasal dari Nafi’ terdapat kata dzakara ramadhan, sebelum perkataan Rasul saw. “la tashumu...”, sedangkan pada riwayatnya yang lain, yang berasal dari ‘Abd Allah ibn Dinar, tidak terdapat kata-kata tersebut, tetapi terdapat tambahan kata “al-syahrits’un wa ‘isyrun”. Pada riwayat Bukhari yang berasal dari jalur ‘Abd Allah ibn Dinar menggunakan kata “fa-akmilu al-iddat tsalatsin”. Perbedaan redaksi di atas menunjukkan adanya periwayatan secara makna, yaitu meskipun redaksinya berbeda, tetapi mempunyai makna yang sama dan bahkan saling mempertegas antara satu dengan lainnya.
2.      Al-i’tibar
Keenam riwayat hadis tentang melihat hilal untuk memulai dan mengakhiri ibadah puasa Ramadhan tersebut di atas, selanjutnya di i’tibar dengan cara mengombinasikan antara sanad yang satu dan yang lainnya, sehingga terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang di teliti, demikian juga dengan seluruh perawinya dan metode periwayatannya. Dengan dilakukan i’tibar tersebut, akan dapat diketahui apakah ada unsur mutabi’ atau syahid pada hadis tersebut atau tidak, dan hasil i’tibar dari sanad hadis tentang melihat hilal.
3.      Terjemah al-ruwat dan naqd al-sanad
Penelitian ini membatasi diri pada sanad Malik, yaitu hadis yang datang dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar melalui Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar. Karena itu, uraian terjemah al-ruwat akan terbatas pada ‘Abd Allah ibn “Umar, Nafi” Abd Allah ibn Dinar, dan Malik sendiri sebagai perawi terakhir,sampai pada Ibn ‘Umar sebagai perawi pertama.
a.    Malik ibn Anas
Nama lengkapnya adalah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi’ Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn Utsman ibn Jutsail ibn Amr ibn al-Harits. Beliau adalah salah seorang ulama terkenal dan imam kota Madinah. Malik lahir pada tahun 93 H (ada yang menyebutkan tahun 90 H) dan wafat tahun 169 H dalam usia 87 tahun, setelah menjadi mufti di Madinah selama 60 tahun. Ibn Hajar menyebutkankan bahwa Malik meninggal dunia pada tahun 179 H.
Malik berguru dan menerima hadisdari banyak ulama, yang diperkirakan mencapai jumlah 900 orang. Diantara mereka adalah  ‘Amir ibn ‘Abd Allah ibn al-Zubair ibn al-Awwam, Naa’im ibn ‘Abd Allah al-Majmar, Zaid ibn Aslam, Nafi’ Mawla ibn ‘Umar, ‘Abd Allah ibn Dinar. Nafi dan ‘Abd Allah Ibn Dinar adalah sanad pertama bagi hadis Malik. Murid-muridnya adalah Al-Zuhri, Yahya ibn Sa’id al-Ansahari, Al-Awza’i Al-Tsawri, Syu’bah ibn al-Hajjaj, Al-Laits ibn Sa’ad, dan Ibn Uyainah.
Mengenai pribadi Malik, para kritikus hadis berpendapat sebagai berikut.
1.      Muhammad ibn Ibn Ishaq al-Tsaqafi berkata, “ketika Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari ditanya tentang Ashah al-Asanid, Al-Bukhari mengatakan, Ashah Al-Asanid adalah Malik dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar.
2.      Ali ibn al-Madini berkata, dari sumber Ibn ‘Uyainah, “Malik adalah orang yang paling teliti, dan kritis terhadap par perawi hadis serta sangat mengetahui tentang keadaan mereka”.
3.      Berkata Ali, “Saya tidak mengetahui bahwa Malik meninggalkan (tidak meriwayatkan hadis dari) beberapa perawi, kecuali mereka yang memiliki sesuatu (cacat) pada riwayat mereka.” Berkata Al-Dawri, dari Ibn Ma’in, “Setiap perawi yang menjadi sumber Malik dalam pengambilan hadis adalah tsiqat,kecuali ‘Abd al-Karim”.
4.      Abd Allah ibn Ahmad mengatakan, “Aku bertanya kepada ayahku, ‘siapakah yang paling terpercaya di antara sahabat Al-Zuhri?” Ayahku menjawab, “Malik! Malik adalah yang paling terpercaya dalam segala hal.”
5.      Ibn Sa’ad berkata, “Saya adalah orang yang paling ingat tentang waktu meninggalnya Malik, yaitu pada bulan Safar tahun 179 H, dan Malik adalah seorang yang tsiqat, terpercaya, wara’, faqih, alim, dan hujjah.
Dari komentar para kritikus Hadis di atas terlihat secara jelas bahwa Malik adalah seorang yang tsiqat, paling terpercaya, paling teliti, dan kritis terhadap para perawi hadis, dan bahkan termasuk bagian dari ashah al-asanid (yaitu Malik dari Nafi dari Ibn ‘Umar). Oleh karena itu, pernyataannya bahwa dirinya telah menerima riwayat hadis dari Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar dapat dipercaya. Dan karenanya pula, dapat dikatakan bahwa sanad antara Malik dengan Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar adalah dalam keadaan bersambung (muttashil).  
b.   Nafi
Nama lengkapnya adalah Nafi’ Abu ’Abd Allah al-Madani, dan dia adalah Mawla Ibn ‘Umar. Dia meninggal dunia pada tahun 117 H. Abu Ubaidah Allah mengatakan bahwa Nafi meninggal pada tahun 119 H, dan pendapat ini didukung oleh Ibn ‘Uyaynah da Ahmad ibn Hanbal. Pendapat lain mengatakan, dan didukung oleh Abu ‘Umar al-Thorir, bahwa Nafi’ meninggal pada tahun 120 H. Berkata Ahmad ibn Shalih al-Mishri bahwa Nafi’ adalah seorang hafiz, jelas keadaannya, dan dia lebih tua dari Ikrimah di kala ngan penduduk Madinah. Menurut Al-Khalil, Nafi’ adalah salah seoranh imam dari tabi’in di kota Madinah. Dari segi ilmu, telah disepakati bahwa riwayatnya adalah sahih dan tidak didapati adanya kesalahan dalamseluruh riwayatnya.
Nafi’ berguru dan menerima hadis dari sejumlah ulama, di antaranya ‘Abd Allah ibn ‘Umar sebagai maula-nya ‘Abu Hurairah, Aabu Lubabah ibn ‘Abd al-Mundzir, Abu Sa’id al-Khudri, ‘Aisyah, dan lainnya. ‘Abd Allah ibn ‘Umar sebagai maula dan segi dari Nafi’, adalah sahabat yang memberikan hadis kepada Nafi’.
Nafi’ sendiri mempunyai sejumlah murid yang meriwayatkan hadis darinya, diantara murid-muridnya adalah ‘Abd Allah ibn Dinar, Shahih ibn Kisan, ‘Abd Rabbih, Al-Zuhuri, Malik ibn Anas, dan lainnya.
Pernyataan para kritikus hadis tentang diri Nafi’ adalah seorang yang tsiqat dan al-asaniid adalah Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar.
Berkata Basyr ibn AMR DARI malik, “Apabila aku mendengar sebuah hadis Nafi’ dari ibn Umar maka aku tidak perlu mendengarkan lagi dari yang lainnya .”
Al-Ajali Madini, Ibn Kharasy, dan Nasa’i mengatakan, bahwa Nafi adalah seorang yang tsiqat.
Para kritikus hadis mengatakan bahwa Nafi adalah seorang yang tsiqat, bagian dari ashahh al-asanid (yaitu Malik dari Nafi dari ibn Umar), maka dengan demikian pernyataan Nafi’ bahwa dia telah menerima riwayat hadis dari ‘Abd Allah ibn Umar dapat dipercaya dan karenanya, dapat kita katakan bahwa sanad antara dia dan ibn Umar adalah bersambung.
c.       Abd Allah ibn Dinar
Nama lengkapnya dalah ‘Abd Allah ibn Dinar al-Adawi Abu ‘Abd al-Rahman al-Madani Mawla ibn ‘Umar.
Ibn Dinar meninggal dunia pada tahun 127 H.
Di antara guru Ibn Dinar adalah ‘Abd Allah Ibn ‘Umar, Anas, Sulaiman ibn Yasar, Nafi’ al-Qurasyi Mawla Ibn ‘Umar, dan Abu Shalih al-Samman.
Para muridnya adalah anaknya sendiri, yaitu ‘Abd al-Rahman, Malik, Sulaiman ibn Bilal, Syu’bah, Shafwah ibn Salim, ‘Abd al-Aziz ibn al-Majis’n, dan lainnya.
Pernyataan kritikus hadis tentang dirinya:
Salih ibn Ahmad berkata, berdasarka sumber dari ayahnya, bahwa ‘Abd Allah Ibn Dinar adalah seorang yang tsiqat lagi benar hadisnya.
Ibn Ma’in, Abu Zar’ah, Abu Hatim, Muhammad Ibn Sa’ad, dan Nasa’i berpendapat bahwa ibn Dinar adalah tsiqat.
Al-‘Ajali menyatakan bahwa Ibn Dinar adalah seorang yang tsiqat. Ibn Uyainah berkata bahwa sebelumnya Ibn Dinar bukanlah seorang yang tsiqat. Tetapi kemudian dia menjadi seorang yang tsiqat.
Al-Laits berkata, berdasarkan sumber dari Rabi’ah, dikatakan bahwa ‘Abd Allah ibn Dinar adalah seorang yang saleh dikalangan para tabi’in dan seorang yang benar (terpercaya) agamanya.
Ibn Hibban mengelompokkan Ibn Dinar ke dalam kelompok orang-orang tsiqat.
A’bd Allah ibn Dinar berdasarkan pernyataan para kritikus hadis di atas, adalah seorang yang tsiqat, saleh, dan terpercaya. Justru itu, pernyataannya bahwa dirinya telah menerima riwayat dari Ibn ‘umar adalah dapat dipercaya dan karenanya, dapat pula kita nyatakan bahwa sanad antara dia dengan Ibn Umar adalah bersambung.

d.      ‘Abd Allah ibn ‘Umar    
Nama lengkapnya ‘Abd Allah ibn ‘Umar ibn al-Khathab ibn Nufail al-Quraysi al-‘Adawi Abu ‘Abd al-Rahman al-Makki. Dia lahir tidak lama setelah diangkatnya Nabi Muhammad saw. sebagai rasul. Berdasarkan sumber dari Al-Zubair, bahwa ketika terjadinya peristiwa Hijrah, Ibn ‘Umar berusia 10 tahun, dan beliau meninggal pada tahun 73 H. Para gurunya adalah Rasulullah saw., ayahnya (Umar ibn al-Khathab), pamannya (Zaid), Hafshah (saudara perempuannya) Abu Bakar, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Sa’id, Bilal, Zaid ibn Tsabit, Shuhaib, Ibn Mas’ud, ‘Aisyah, dan lainnya. Diantara muridnya adalah anak –anaknya sendiri, Bilal, Hamzah, Zaid, Salim, ‘Abd Allah, ‘Ubaidah Allah, Nafi’ (Mawalnya), Aslam Mawla ‘Umar, dan banyak lagi muridnya yang lain.
Pernyataan kritikus tentang dirinya.
1.      Hafshah berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya ‘Abd Allah (ibn ‘Umar) adalah seorang yang saleh.”
2.      Zuhri berkata, “Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi kecerdasannya.”
3.      Ibn Zabr menerangkan, “Dia (Ibn ‘umar) adalah seorang yang paling tsabit.”
Para kritikus hadis telah memberikan penilaian yang baik kepada Ibn ‘umar, dan bahkan Rasulullah saw. sendiri menyatakan bahwa Ibn ‘Umar adalah seorang yang saleh. Dia juga adalah seorang yang cerdas dan paling tsabit. Selain itu, tidak seorang pun yang menyaksikan tentang kepribadiannya. Oleh karena itu, kita dapat mempercayai pernyataannya bahwa dirinya telah menerima riwayat hadis dari Rasulullah saw., dengan demikian, dapat kita katakan bahwa sanad antara Ibn ‘Umar dan Rasulullah saw. adalah dalam keadaan bersambung.


4.    Natijah (hukm al-hadits)
Uraian mengenai sanad hadis tentang ketentuan memulai dan mengakhiri puasa dengan melihat bulan, yang di-takhrij oleh Malik di atas, menghasilkan beberapa catatan sebagai berikut.
a.       Dari segi kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para perawinya, terlihat bahwa seluruh perawi yang terlibat dalam periwayatan hadis tersebut adalah tsiqat.
b.      Dari segi hubungan periwayatan, maka seluruh sanad hadis tersebut adalah bersambung.
c.       Dari segi mata rantai sanad, maka rangkaian periwayatan Malik, Nafi’, dan Ibn ‘Umar, dinyatakan sebagai ashahh al-asnid.
d.      Dari segi lambang-lambang periwayatan, hadis di atas tergolong mu’an’an dan mu’anan, yang diperselisihkan tentang kebersambungan sanad-nya oleh para ulama hadis. Namun, setelah dilakukan penelitian tentang kualitas pribadi para periwayatannya dan hubungan periwayat tersebut dengan periwayat sebelumnya, maka seluruh sanad-nya dinyatakan dalam keadaan bersambung.
e.       Sanad Malik ibn Anas ini juga didapati pada sanad Al-Bukhari dan Muslim, yang keduanya telah diakui oleh para ulama hadis sebagai dua kitab sahih (sahihnya).
Berdasarkan beberapa catatan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadis yang di-takhrij oleh Malik di atas, hukumnya adalah shahih lidzatini.
5.      Syarh (fiqh) al-hadits
Kewajiban ibadah puasa Ramadhan adalah merupakan salah satu rukun dari rukun islam yang lima, dan Alquran, pada QS Al-Baqarah: 183, secara tegas telah menyatakan kewajiban tersebut, sebagaimana kewajiban yang sama telah ditetapkan Allah kepada umat sebelumnya. Untuk memulai pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan, Alquran juga telah menetapkan adanya kesaksian (pengetahuan) tentang telah datang (masuk)-nya bulan Ramadhan, sebagaimana ditegaskan oleh QS Al-Baqarah:185:
شَهْرُ رَمَضأنَ أُنْزِلَ فِيْهِ القُرْءَانُ هُدى لِّلنّاسِ وَبَيْنَاتِ مِنَ الهُدَى والقُرْءَانِ ج فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَسُمْهُ.....
Rasulullah saw., dalam kepastiannya sebagai penjelasan yang lebih rinci mengenai tata cara pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan, yang diantaranya adalah tentang keharusan melihat hilal diawal bulan Ramadhan untuk memulai ibadah puasa, sebagaimana tersebut di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Malik di atas. Hadis riwayat Malik tersebut secara lahirnya mewajibkan berpuasa kapan sajaawal bulan Ramadhan terlihat, apakah dimalam hari atau siang hari. Akan tetapi, kandungan hadis pada berikutnya, hal ini dipahami dari larangan untuk memulai puasa Ramadhan sebelum hilal terlihat.
Para Ulama berbeda pendapat dalam memahami perkataaan Rasul saw. “faqduru lahu”. Sekelompok ulama, termasuk di antaranya Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa maknanya adalah tetapkanlah hilal (awal bulan Ramadhan) tersebut, meskipun tertutup oleh awan. Kelompok ini membolehkan memulai puasa Ramadhan pada hari yang malam hari sebelumnya tertutup oleh awan. Ibn Suraij dan sekelompok ulama, seperti Mathraf ibn ‘Abd Allah, Ibn Qutaybah, dan lainnya berpendapat bahwa makna kalimat tersebut adalah tetapkanlah awal bulan dengan menggunakan hisab, apabila awan menutupi langit, namun Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa maksud perkataan “faqduru lahu” adaltetapkanlah awal bulan Ramadhan dengan cara menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Jumhur ulama mengemukakan dalil dengan perkataan “faakmil’ al-iddah” tsalatsin, yang terdapat beberapa riwayat hadis lain dan kalimat tersebut merupakan tafsir dari kalimat “faqduru lahu”. Jumhur ulama, berkaitan dengan hadis ini juga, khususnya perkataan “fa in ghumma alaykum”, berpendapat bahwa tidak boleh melakukan (memulai) puasa Ramadhan pada hari yang diragukan, dan juga tidak boleh pada hari ketiga puluh Sya’ban, apabila pada malam ketiga puluh tersebut ditutupi oleh awan.
Hadis diatas juga menjelaskan bahwa bulan qamariyah kadang-kadang berjumlah 29 hari dan terkadang 30 hari. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ibn Mas’ud yang mengatakan, “kami berpuasa bersama-sama dengan Nabi saw. lebih banyak 29 hari daripada 30 hari”(HR Abu Daud dan Al-Tirmidzi). Pernyataan “fala tashumu hatta tarawhu” tidaklah mengaitkan memulai puasa dengan penglihatan hilal oleh setiap orang, tetapi cukup dengan penglihatan sebagian Islam saja, apakah satu-dua orang, yang adil dan dapat dipercaya.
Dari contoh takhrij di atas, tergambar bahwa dengan menggunakan dua di antara metode-metode takhrij yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu takhrij melalui lafal pertama hadis dan takhrij berdasarkan salah satu lafal dari matan hadis, yang dalam hal ini lafal sahahhama, penelusuran terhadap hadis tentang melihat hilal untuk memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan dapat dilakukan dengan efektif sampai kepada penilaian status dan kualitas hadisnya.[8]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Takhrij Hadits sebagai bagian dari ilmu hadits merupakan produk ulama terdahulu adalah juga bagian dari khazanah intelektual dan keilmuan yang patut dilestarikan dan dikembangkan. Mereka (para ulama terdahulu) telah melakukan “ijtihad intelektual” dalam tradisi ilmu hadits sehingga takhrij hadits sebagai bagian kecil dari ilmu tersebut ada dihadapan kita. Karena dengan takhrij hadits telah banyak memberikan manfaat dan faedah sebagaimana dijelaskan pada bagian awal makalah ini, dengan  metode takhrij,  samudra hadits peninggalan Rasulullah SAW. yang begitu luas dan banyak dapat ditelusuri, dilacak dan diteliti dengan mudah oleh siapa saja yang ingin mendapat hikmah dari butiran-butiran mutiara hadits. Metode-metode takhrij hadits dengan kekurangan dan kelebihannya pada masing-masing metode telah saling melengkapi antara metode yang satu dengan yang lainnya dalam proses pelacakan dan penelusuran hadits.



DAFTAR PUSTAKA

At-Thohhan, Mahmud. 1995. Ushul At-Takhrij Wa Dirosat Al-Asaanid. Semarang: Dina Utama
‘Itr, Nurudin. 1994. Ulum Al-Hadits. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Munawar, Agil Husin. 1994. Metode-Metode Takhrij Hadits. Semarang: Dina Utama
Sahrani,Sohari.2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia
Yushar,Nunung. http://www.academia.edu/9377596/Takhrij_Hadits. pada tanggal 21 Februari 2015 pukul 109.42



[1] Nunung Yushar, http://www.academia.edu/9377596/Takhrij_Hadits, pada tanggal 21 Februari 2015 pukul 109.42
[2] Mahmud At-Thohhan, Ushul At-Takhrij Wa Dirosat Al-Asaanid , (Semarang: Dina Utama, 1995), hlm. 15-16
[3] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 185-192
[4] Ibid., hlm. 194
[5] Op Cit., hlm. 21
[6] Agil Husin Munawar, Metode-Metode Takhrij Hadits, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 12-14
[7] Nurudin ‘Itr, Ulum Al-Hadits, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 191-193
[8] Loc Cit., hlm. 203-213
 

 

0 comments:

Post a Comment