FATCHURAHMAN ALI
2021114145
PAI C
STAIN PEKALONGAN
A. MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA
Suatu kenyataan bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan
secara damai. Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam
beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer muslim. Mengenai
kapan, dari mana, dan dimana pertama kali Islam datang ke Nusantara terdapat
perbedaan pendapat sebagai berikut.
a.
Pendapat
pertama dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis Belanda, diantaranya Snouk
Hurgronje yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M
dari Gujarat (bukan dari Arab langsung) dengan bukti ditemukannya makam
sultan yang beragama Islam pertama Malik
as-Sholeh, raja pertama kerajaan Samudera Pasai yang dikatakan berasal dari
gujarat.
b.
Yang kedua dikemukakan oleh sarjana-sarjana
muslim, diantaranya Prof. Hamka, yang mengadakan “Seminar Sejarah Masuknya
Islam ke Indonesia” di Medan tahun 1963. Hamka dan teman-temannya berpendapat
bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (± abad ke-7
sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan
bersifat internasional sudah dimulai jauh sebelum abad ke-13 (Abad ke-7)
melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina (Asia Timur),
Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat.
c.
Sarjana
Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat
tersebut. Menurut pendapat tersebut. Menurut pendapatnya memang benar Islam
sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau abad 7 atau abad 8
Masehi, tetapi baru dianut oleh pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan.
Barulah Isalm masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada
abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat
arus balik kehancuran Baghdad ibu kota Abbasiyah oleh Hulagu. Kehancuran Baghdad
menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktivitas perdagangan ke Asia Selatan,
Asia Timur, dan Asia Tenggara.
Dari paparan diatas dapat dijelaskan bahwa tersebarnya Islam ke
Indonesia adalah melalui saluran-saluran sebagai berikut.
a.
Perdagangan,
yang mempergunakan sarana pelayaran.
b.
Dakwah,
yang dilakukan oleh mubalig yang berdatangan bersama para pedagang. Para mubalig itu bisa jadi juga para
sufi penggembara.
c.
Perkawinan,
yaitu perkawinan antara pedagang muslim dengan anak bangsawan Indonesia. Hal
ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga Muslim dan
masyarakat Muslim. Dengan perkawinan itu secara tidak langsung orang Muslim
tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat kharisma kebangsawanan.
d.
Pendidikan,
setelah kedudukan para pedagang mantap , mereka menguasai kekuatan ekonomi di
bandar-bandarseperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi
pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam
di kerajaan Samudra Pasai berperan sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi
pelajar-pelajar dan mengirim mubalig lokal, diantaranya mengirim Maulana Malik
Ibrahim ke Jawa.[1]
Selain menjadi pusat-pusat pendidikan, yang disebut pesantren, di Jawa juga
merupakan markas penggemblengan kader-kader politik. Misalnya, Raden Fatah,
Raja Islam Pertama Demak, adalah santri pesantren Ampel Denta; Sunan Gunung
Jati, Sultan Cirebon pertama adalah didikan pesantren Gunung Jati dengan Syaikh
Dzatu kahfi; Maulana Hasanuddin yang diasuh ayahnya Sunan Gunung Jati yang
kelak menjadi Sunan Banten pertama.[2]
B. ASPEK FALSAFAH ISLAM
Falsafah islam dalam pegertian
falsafah yang dicetuskan oleh filosof Islam, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu
Sina, Ibnu Rusydi, dan lain-lain secara murni tidak pernah datang dan
berpengaruh di Indonesia. kalaupun ada adalah aspek falsafah yang mempengaruhi
tasawuf yang kemudian dikenal dengan istilah tasawuf falsafi.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang
menggunakan terminologi falsafah di luar islam seperti dari Yunani, Persi,
India, Nasrani, maupun dari Islam sendiriyang dari luar Islam mungkin dari
Socrates, Plato, Aristoteles, dan aliran Neo Platonisme dengan ajaran
emanasinya, ataupun falsafah Hermenitisme. Sedangkan, dari Islam seperti
falsafahnya Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi. Selain itu juga dipengaruhi
paham batiniah sekte islamiyah dari aliran Syi’ah, seperti ajaran-ajaran Ikhwal
al-Shofa. Di samping tentunya dilandaskan kepada ilmu-ilmu Isla, fiqih, kalam,
hadis serta tafsir. Tegasnya para tokoh tasawuf falsafi bersifat ensikopledis
dan berlatar belakang budaya, pengalaman dan pendidikan yang bermacam-macam.
Walupun demikian, keorisinilannya sebagai tasawuf tetap terjaga. Para tokohnya
berusaha dengan gigih untuk mengkompromikan ajaran-ajaran falsafah dari luar
Islam dengan tasawuf. Karena itu, dalam tasawuf falsafi banyak ajarannya yang
samar-samar, banyak ungkapan dan peristilahan khusus yang dipahami oleh
orang-orang yang mendalami ajaran tasawuf falsafi ini. Dengan demikian,
falsafah jenis ini sangat berbahaya bagi orang awam, karena dapat menjadi salah
dalam memahami, mungkin menjadi terjebak ke arah penyelewengan bahkan mungkin
menjadi tersesat yang mengarah kepada kekafiran.[3]
C.
PERKEMBANGAN PEMBARUAN DI INDONESIA
Bila melihat rentetan sejarah peradaban
Islam di Indonesia, maka akan ditemukan ada tiga periode perkembangan pemikiran
Islam di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
Pertama, periode ketika kepemimpinan ulama sangat dominan di masyarakat
Muslim. Kepemimpinan ulama berlangsung sejak Islam datang ke Indonesia hingga
berlangsungnya masa penjajahan. Bahkan menjadi simbol perlawanan dalam
perang-perang besar melawan penjajah. Misalnya Fatahillah mengusir Portugis
dari Sunda Kelapa, Kiai Maja membantu perang Diponegoro, Imam Bonjol dalam
perang Padri.
Kedua, Peran ulama-ulama islam digantikan oleh pemimpin-pemimpin Islam
yang bergerak di bidang organisasi atau kepartaian dalam kepolitikan. organisasi
politik seperti Muhammadiyah yang
memiliki peranan penting dalam memperkenalkan modernitas terutama dalam
pendidikan. dengan mendirikan sekolah-sekolah formal (bukan pesantren lagi).
Model pendidikan tradisional (pesantren) diganti dengan model pendidikan Barat
(Belanda). Selain muncul golongan pembaru dalam Islam, muncul juga organisasi
tradisional yang terhimpun dalam Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) yang
dicetuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah pada tahun 1926.
Yang semula menggunakan pesantren sebagai basis kegiatannya, melestarikan
tradisi-tradisi lama, bergerak dalam bidang sosial keagamaan. Di Indonesia
mereka sering dikatakan mengikuti fiqih Syafi’i, akidah ahli sunnah wal
jama’ah, dan tasawuf Al-Junaedi, Al-Ghazali. Kitab-kitab mereka jadi rujukan
dalam beramal, beribadah dan bertasawuf. Walaupun begitu tidak selalu bermakna
konservatif, tidak modern, atau menolak modernitas. Dalam sisi tertentu mereka
sangat akrab dengan modernitas. Seperti menggunakan telepon seluler, komputer,
pesawat dan lain-lain, yang merupakan produk dari modernitas. Mereka disebut
tradisonalis lantaran metodologi keberagamannya yang berlandaskan pada warisan
pemikiran ulama masa lalu, seperti terlihat pada rujukannya pada kitab-kitab
kuning. Mereka mempunyai pedoman al-muhafadzah ala al-qadimi al-shalih, wal
ahzu ila al-jadidi al-ashlah (memelihara yang lama yang sah, sambil
mengambil yang baru yang lebih baik).
Ketiga, periode kebangkitan intelektual Muslim, yakni saat peran politisi
intelektual Muslim dipertanyakan di hadapan kekuasaan, sistem politik waktu itu
(Orde baru). Sudah dimulai pada tahun 1970, ditandai dengan munculnya beberapa
literatur yang mencoba mencermati secara sistematis perkembangan dunia
intelektual Muslim Indonesia. Namun, dalam masa berikutnya zaman kebangkitan
intelektual ini mempunyai macam corak pemikiran. Mereka itu adalah sebagai
berikut.
1.
Neo
modernisme, yaitu pemikiran keislaman yang menggabungkan dua aliran modernisme
dan tradisionalisme, tokohnya adalah Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, dan
Ahmad Wahib.
2.
Sosialisme
demokrat, yaitu gerakan yang melihat keadilan sosial dan demokrasi sebagai
unsur pokok Islam. Tokoh-tokohnya: Dawam Raharjo, Adi Sasono, Kuntowijoyo.
3.
Universalisme,
gerakan pemikiran Islam yang memandang Islam sebagai perangkat nilai alternatif
dari kemerootan nilai-nilai Barat. Tokoh-tokohnya adalah: Amien Rais,
Jalaluddin Rahmat, dan A.M. Saefudin.
4.
Neo
revivalis, sering dikatakan dengan gerakan Ikhwan al-Muslimin, dalam beberapa
organisasi seperti Hamas, Hizbut Tahrir. Front Pembela Islam(FPI) Majelis
Mujahidin. Meski mereka berbeda-beda, tetapi secara umum mereka adalah kelompok
yang “menjaga jarak” dengan peradaban Barat, Barat adalah musuh. Maka
simbol-simbol identitas dan peradaban senantiasa digunakan dalam kesadaran
keberagamannya, misalnya berjenggot, bersorban, dan lain-lain.[4]
D.
PEMIKIRAN ISLAM EMPAT MADZHAB INDONESIA (NURCHOLIS MAJID,
ABDURRAHMAN WAHID, AMIEN RAIS, DAN JALALUDDIN RAHMAT)
1.
Nurcholis Majid dan Pemikirannya
Nurcholis Madjid ataupun yang akrab dengan sapaan Cak
Nur, lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 M. Beliau adalah
staf pada Lembaga Ilmu Pengetahuan
(LIPI), Jakarta. Juga, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca sarjana IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Pendidikannya dimulai di Pesantren Rejoso, Jombang, dan
kemudian di Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Melanjutkan studinya ke Fakultas
Sastra dan Kebudayaan Islam Jurusan Sastra Arab IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan tamat pada tahun 1968. Sejak tahun 1978-1984 melanjutkan pendidikan
doktoralnya di University of Chicago dan meraih gelar Ph.D. Pernah menjabat
sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam selama dua periode
(1966-1969 dan 1969-1971), Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara,
dan Asisten Sekretaris Jenderal International Islamic Federation of Students
Organizations (IIFSO). Pengakuan atas perannya dalam kancah pemikiran keislaman
di Indonesia tampak pada kenyataan dijadikannya pemikiran-pemikiran tokoh ini
sebagai bahan beberapa disertasi doktoral sekaligus, disamping
pembahasan-pembahasan dalam setiap karya tulis mengenai masalah tersebut. [5]
1.1.
Modernisasi: Tinjauan Islami
Pengertian yang mudah tentang
modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan
pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berpikir
dan tata kerja lama yang tidak akliah. Kegunaannya ialah untuk memperoleh
daya-guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan
mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kiranya menjadi
mantaplah keyakinan kita, bahwa modernisasi, yang berarti rasionalisasi untuk
memperoleh dayaguna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal, guna kebahagiaan
umat manusia, adalah perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar.[6]
1.2.
Rasionalisme dan Agama Baru (Humanisme)
Rasionalisme adalah suatu paham yang
mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut oleh komunis. Maka, seorang
rasionalis adalah seorang yang menggunakan akal pikirannya secara
sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikirannya itu sanggup
menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun.
Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan
akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran. Menurut Islam
sekalipun, rasio dapat menemukan kebenaran-kebenaran, namun kebenaran-kebenaran
yang relatif, sedangkan kebenaran yang mutlak hanya dapat diketahui oleh
manusia melalui sesuatu yang lain yang lebih tinggi daripada rasio, yaitu wahyu
(revelation) yang melahirkan agama-agama Tuhan, melalui Nabi-nabi.[7]
1.3.
Westernisme, Liberalisme, dan komunisme
Kita sepenuhnya berpendapat bahwa
modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral,
dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, kita
juga sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan bahwa modernisasi ialah
westernisasi, sebab kita menolak westernisasi.
Dan sudah pasti, kita tidak menolak
ilmu pengetahuan yang benar, dan juga teknologi, sekalipun berasal dari Barat,
bahkan sekalipun berasal dari komunis. Sebab ilmu, pengetahuan dan teknologi
sama sekali tidak dapat dikatakan dimonopoli oleh Barat, apalagi disebut
westernisme. Malahan dalam hal ilmu pengetahuan, Nabi Muhammad memerintahkan
umatnya untuk mencari nya dimana saja, “meskipun ke negeri Cina”.
Malahan sudah menjadi pengakuan yang
umum sekali sekarang ini, bahwa kemajuan Barat adalah berkat ilmu pengetahuan
kaum muslimin di zaman keemasannya. Supremasi Islam dimuka bumi, dua kali lebih
panjang lamanya daripada supremasi Barat sekarang ini.
Cabang-cabang sekulerisme antara
lain, ialah liberalisme. Bila diukur dengan ajaran Tuhan Yang Maha Esa, liberalisme
adalah suatu ajaran yang sesat yang harus ditentang. Mengenai ajaran
liberalisme tentang kemerdekaan individu, tentu patut dihargai. Tetapi bahwa
kemerdekaan itu tak terbatas, adalah suatu hal yang sangat membahayakan
kehidupan bermasyarakat.
Liberalisme mengakibatkan individualisme,
dan individualisme mengakibatkan kapitalisme. Maka dalam kapitalisme inilah
kita dapati prinsip lemerdekaan dinodai sedemikian rupa, sehingga tinggal
sebagai semboyan belaka. Orang-orang kapitalis berbicara tentang “kemerdekaan
ekonomi”: kebebasan setiap orang untuk mengumpulkan harta kekayaan dan
menggunakannya sebagai modal, tanpa menentukan norma moral bagaimana harta
kekayaan itu diperoleh. Bagi mereka tidak ada harta yang halal maupun yang
haram.
Komunisme adalah bentuk lain dan
lebih tinggi dari sekularisme. Sebab, komunisme adalah sekularisme yang paling
murni dan konsekuen. Dalam konsumenismelah seseorang menjadi ateis sempurna. Kaum
komunis membenarkan, malah mendasarkan keseluruhan ajarannya pada prinsip
persamaan diantara manusia. Tetapi prinsip persamaan dalam komunisme itu pun
mengalami nasib yang sama dengan prinsip kemerdekaan dalam kapitalisme. Kaum
komunis menodai prinsip persamaan itu sebegitu rupa, sehingga tinggal semboyan
semata-mata. Malahan yang terjadi ialah adanya supremasi-mutlak pihak penguasa
atas pihak yang dikuasai, yaitu rakyat pada umumnya.
Karena kapitalisme dan komunisme itu
tidak benar, maka kita sekarang menyaksikan pergeseran-pergeseran di dalam
keduanya. Sebab, manusia tidak mungkin bisa bertahan sepenuhnya dalam suatu
prinsip dan dalam ajaran yang kebenarannya tidak mutlak. Sekarang ini kita
lihat bahwa negara-negara kapitalis makin menunjukkan gejala sosialistis.
Sebaliknya, negara-negara komunis, dari hari kehari menjadi liberalis.[8]
1.4.
Snoukisme: Pengalaman Berharga Bagi Bangsa Indonesia
Seperti diketahui, Pemerintah
kolonial belanda memberikan pendidikan kepada pribumi Hindia Belanda, dan
mendirikan sekolah-sekolah, sejak dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi.
Hal-hal itu dilakukan dalam rangka “Politik Sopan”-nya (Ethical Policy).
Hal ini memaksa kita untuk kembali ke sejarah lebih jauh lagi.
Dalam menjalankan “Politik Sopan”
inilah pandangan-pandangan seorang ahli islam (Islamologi) terkenal, Snouck Hurgronje,
sangat berpengaruh. Ketika menasehati pemerintah kolonial belanda, untuk
menghadapi umat islam indonesia, Snouck Hurgronje mengemukakan pendapatnya
bahwa Pemerintahan Kolonial harus mengembangkan sikap netral terhadap Islam
sebagai agama, dan sikap keras-tegas terhadap Islam sebagai gerakan politik,
dan pemerintah kolonial sekaligus harus merangkul golongan-golongan dalam
masyarakat Indonesia yang agak tipis keislamannya: yaitu kaum elite
tradisional, pemimpin-pemimpin kaum adat di luar Jawa, dan kaum priyayi di Jawa.
Kesemuanya itu ditempuh semata-mata untuk memperkokoh kolonialisme Belanda di
bumi Indonesia.
Tetapi, hal itu semua hanyalah
permulaan politik Belanda lebih lanjut: yaitu sepenuhnya menghancurkan Islam,
dan mengusirnya dari bumi Hindia Belanda. Sebab, seperti dikatakan oleh Dr.
Harry J. Benda: “... selama bangsa indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya,
masih tetap merupakan orang-orang Muslim, maka hubungan kolonial selamanya
tidak akan dapat memberikan jalan bagi adanya ikatan yang abadi antara Indonesia
dan Negeri Belanda”.
Lebih dari itu, dan inilah intisari
filsafat kolonialismenya Snouck Hurgronje. Indonesia harus dimodernisasikan,
dijadikan modern. Dan seperti juga dikatakan oleh Snouck, “Oleh karena
Indonesia modern itu, menurut batasannya, tidak mungkin merupakan Indonesia
Islam, dan tidak pula merupakan Indonesia yang diperintah oleh adat, maka harus
merupakan Indonesia yang di Baratkan.[9]
1.5.
Nilai-Nilai Keislaman: Harta Berharga Bangsa Indonesia
Dalam keadaan inilah rakyat
Indonesia didorong oleh suatu kewajiban mencari kepribadian nasional (national
identity), sebagai langkah yang pertama-tama harus diambil dalam rangka
mengisi kemerdekaan. Sebab, bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu
bangsa sebelum mereka mengubah apa yang ada pada jiwa mereka, yaitu berupa set
of ideas, attitudes and convictions (sekumpulan pikiran, sikap, dan
keyakinan).
Di antara milikan nasional itu,
secara obyektif, yang paling menonjol ialah keislaman. Keislaman inilah yang
telah mampu menjadikan dirinyasebagai simbol kebangkitan bangsa dalam menentang
penjajahan, semenjak ekspedisi Patih Unusdari kerajaan Demak untuk mengusir
penjajahan Portugis dari malaka, sampai lahirnya partai dan gerakan politik
dengan organsasi massa yang modern yang pertama kali di Indonesia (PSII),
dibawah pimpinan Pak Cokro dan pak H.A Salim, yang menjadi sumber inspirasi dan
aspirasi seluruh gerakan nasional patriotik dan revolusioner di Indonesia
menjelang kemerdekaan tahun 1945.
Dari segi inilah kita harus menilai
mutlaknya gerakan-gerakan Islam dalam Indonesia merdeka ini, semenjak dari
Partai Politik Islam Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam ditahun
permulaan kemerdekaan, sampai partai-partai Islam yang ada sekarang ini, yaitu
NU, PSII, Partai Muslimin dan Perti. Di samping itu, juga organisasi-organisasi
massa Islam, baik yang bergerak di bidang pendidikan, kesejahteraan sosial dan
lain-lain, maupun di bidang kemahasiswaan dan kepelajaran.
Organisasi-organisasi kemahasiswaan
dan kepelajaran Islam berfungsi sebagai pelengkap pendidikan di sekolah atau
fakultas/akademi, ditanamkan kewajiban untuk mengikis habis sisa-sisa Snockisme
yang meracuni kehidupan bangsa Indonesia. organisasi-organisasi ini bertugas
menghilangkan dualisme keislaman dan keterpelajaran (intelektualitas). Sehingga
terbentuklah kelak sarjana-sarjana Musim, dimana keislaman dan intelektualitas
berpadu.[10]
[1] Berdasarkan keterangan Agus Sunyoto dalam
diskusi Atlas Walisongo di Youtube:
Karena Maulana Malik Ibrahim wafat
pada tahun 1419 M, maka pada tahun 1421 M dikirim seorang penyebar Islam baru
yang bernama AHMAD ALI RAHMATULLAH dari
Negeri Champa (sekarang daerah vietnam selatan) Beliau adalah anak SYEKH IBRAHIM ASMARAKANDI yang menjadi
menantu Sultan Campha. Pemilihan Ahmad Ali Rahmatullah yang nantinya sering
dipanggil RADEN RAHMAT dan kelak kita
kenal dengan nama Sunan Ampel.
[2] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 7-11
[3] Ibid., hlm.
256-257
[4] Ibid., hlm.
307-313
[6] Ibid., hlm.
172-173
[7] Ibid., hlm.
181-182
[8] Ibid., hlm.
187-189
[9] Ibid., hlm.
192-193
[10] Ibid., hlm.
198-199
0 comments:
Post a Comment