Friday, 21 November 2014

FATCHURAHMAN ALI
2021114145
PAI C 
STAIN PEKALONGAN
A.  MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA
Suatu kenyataan bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai. Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer muslim. Mengenai kapan, dari mana, dan dimana pertama kali Islam datang ke Nusantara terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut.
a.       Pendapat pertama dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis Belanda, diantaranya Snouk Hurgronje yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M dari Gujarat (bukan dari Arab langsung) dengan bukti ditemukannya makam sultan  yang beragama Islam pertama Malik as-Sholeh, raja pertama kerajaan Samudera Pasai yang dikatakan berasal dari gujarat.
b.       Yang kedua dikemukakan oleh sarjana-sarjana muslim, diantaranya Prof. Hamka, yang mengadakan “Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan tahun 1963. Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (± abad ke-7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai jauh sebelum abad ke-13 (Abad ke-7) melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat.
c.       Sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut pendapat tersebut. Menurut pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau abad 7 atau abad 8 Masehi, tetapi baru dianut oleh pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Isalm masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad ibu kota Abbasiyah oleh Hulagu. Kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktivitas perdagangan ke Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.
Dari paparan diatas dapat dijelaskan bahwa tersebarnya Islam ke Indonesia adalah melalui saluran-saluran sebagai berikut.
a.       Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran.
b.      Dakwah, yang dilakukan oleh mubalig yang berdatangan bersama para  pedagang. Para mubalig itu bisa jadi juga para sufi penggembara.
c.       Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim dengan anak bangsawan Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga Muslim dan masyarakat Muslim. Dengan perkawinan itu secara tidak langsung orang Muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat kharisma kebangsawanan.  
d.      Pendidikan, setelah kedudukan para pedagang mantap , mereka menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandarseperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam di kerajaan Samudra Pasai berperan sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan mengirim mubalig lokal, diantaranya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa.[1] Selain menjadi pusat-pusat pendidikan, yang disebut pesantren, di Jawa juga merupakan markas penggemblengan kader-kader politik. Misalnya, Raden Fatah, Raja Islam Pertama Demak, adalah santri pesantren Ampel Denta; Sunan Gunung Jati, Sultan Cirebon pertama adalah didikan pesantren Gunung Jati dengan Syaikh Dzatu kahfi; Maulana Hasanuddin yang diasuh ayahnya Sunan Gunung Jati yang kelak menjadi Sunan Banten pertama.[2]
B.  ASPEK FALSAFAH ISLAM
Falsafah islam dalam pegertian falsafah yang dicetuskan oleh filosof Islam, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, dan lain-lain secara murni tidak pernah datang dan berpengaruh di Indonesia. kalaupun ada adalah aspek falsafah yang mempengaruhi tasawuf yang kemudian dikenal dengan istilah tasawuf falsafi.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang menggunakan terminologi falsafah di luar islam seperti dari Yunani, Persi, India, Nasrani, maupun dari Islam sendiriyang dari luar Islam mungkin dari Socrates, Plato, Aristoteles, dan aliran Neo Platonisme dengan ajaran emanasinya, ataupun falsafah Hermenitisme. Sedangkan, dari Islam seperti falsafahnya Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi. Selain itu juga dipengaruhi paham batiniah sekte islamiyah dari aliran Syi’ah, seperti ajaran-ajaran Ikhwal al-Shofa. Di samping tentunya dilandaskan kepada ilmu-ilmu Isla, fiqih, kalam, hadis serta tafsir. Tegasnya para tokoh tasawuf falsafi bersifat ensikopledis dan berlatar belakang budaya, pengalaman dan pendidikan yang bermacam-macam. Walupun demikian, keorisinilannya sebagai tasawuf tetap terjaga. Para tokohnya berusaha dengan gigih untuk mengkompromikan ajaran-ajaran falsafah dari luar Islam dengan tasawuf. Karena itu, dalam tasawuf falsafi banyak ajarannya yang samar-samar, banyak ungkapan dan peristilahan khusus yang dipahami oleh orang-orang yang mendalami ajaran tasawuf falsafi ini. Dengan demikian, falsafah jenis ini sangat berbahaya bagi orang awam, karena dapat menjadi salah dalam memahami, mungkin menjadi terjebak ke arah penyelewengan bahkan mungkin menjadi tersesat yang mengarah kepada kekafiran.[3]
C.  PERKEMBANGAN PEMBARUAN DI INDONESIA
Bila melihat rentetan sejarah peradaban Islam di Indonesia, maka akan ditemukan ada tiga periode perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, yaitu sebagai berikut.

Pertama, periode ketika kepemimpinan ulama sangat dominan di masyarakat Muslim. Kepemimpinan ulama berlangsung sejak Islam datang ke Indonesia hingga berlangsungnya masa penjajahan. Bahkan menjadi simbol perlawanan dalam perang-perang besar melawan penjajah. Misalnya Fatahillah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, Kiai Maja membantu perang Diponegoro, Imam Bonjol dalam perang Padri.
Kedua, Peran ulama-ulama islam digantikan oleh pemimpin-pemimpin Islam yang bergerak di bidang organisasi atau kepartaian dalam kepolitikan. organisasi politik seperti Muhammadiyah  yang memiliki peranan penting dalam memperkenalkan modernitas terutama dalam pendidikan. dengan mendirikan sekolah-sekolah formal (bukan pesantren lagi). Model pendidikan tradisional (pesantren) diganti dengan model pendidikan Barat (Belanda). Selain muncul golongan pembaru dalam Islam, muncul juga organisasi tradisional yang terhimpun dalam Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) yang dicetuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah pada tahun 1926. Yang semula menggunakan pesantren sebagai basis kegiatannya, melestarikan tradisi-tradisi lama, bergerak dalam bidang sosial keagamaan. Di Indonesia mereka sering dikatakan mengikuti fiqih Syafi’i, akidah ahli sunnah wal jama’ah, dan tasawuf Al-Junaedi, Al-Ghazali. Kitab-kitab mereka jadi rujukan dalam beramal, beribadah dan bertasawuf. Walaupun begitu tidak selalu bermakna konservatif, tidak modern, atau menolak modernitas. Dalam sisi tertentu mereka sangat akrab dengan modernitas. Seperti menggunakan telepon seluler, komputer, pesawat dan lain-lain, yang merupakan produk dari modernitas. Mereka disebut tradisonalis lantaran metodologi keberagamannya yang berlandaskan pada warisan pemikiran ulama masa lalu, seperti terlihat pada rujukannya pada kitab-kitab kuning. Mereka mempunyai pedoman ­al-muhafadzah ala al-qadimi al-shalih, wal ahzu ila al-jadidi al-ashlah (memelihara yang lama yang sah, sambil mengambil yang baru yang lebih baik).
Ketiga, periode kebangkitan intelektual Muslim, yakni saat peran politisi intelektual Muslim dipertanyakan di hadapan kekuasaan, sistem politik waktu itu (Orde baru). Sudah dimulai pada tahun 1970, ditandai dengan munculnya beberapa literatur yang mencoba mencermati secara sistematis perkembangan dunia intelektual Muslim Indonesia. Namun, dalam masa berikutnya zaman kebangkitan intelektual ini mempunyai macam corak pemikiran. Mereka itu adalah sebagai berikut.
1.      Neo modernisme, yaitu pemikiran keislaman yang menggabungkan dua aliran modernisme dan tradisionalisme, tokohnya adalah Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Wahib.
2.      Sosialisme demokrat, yaitu gerakan yang melihat keadilan sosial dan demokrasi sebagai unsur pokok Islam. Tokoh-tokohnya: Dawam Raharjo, Adi Sasono, Kuntowijoyo.
3.      Universalisme, gerakan pemikiran Islam yang memandang Islam sebagai perangkat nilai alternatif dari kemerootan nilai-nilai Barat. Tokoh-tokohnya adalah: Amien Rais, Jalaluddin Rahmat, dan A.M. Saefudin.
4.      Neo revivalis, sering dikatakan dengan gerakan Ikhwan al-Muslimin, dalam beberapa organisasi seperti Hamas, Hizbut Tahrir. Front Pembela Islam(FPI) Majelis Mujahidin. Meski mereka berbeda-beda, tetapi secara umum mereka adalah kelompok yang “menjaga jarak” dengan peradaban Barat, Barat adalah musuh. Maka simbol-simbol identitas dan peradaban senantiasa digunakan dalam kesadaran keberagamannya, misalnya berjenggot, bersorban, dan lain-lain.[4]

D.  PEMIKIRAN ISLAM EMPAT MADZHAB INDONESIA (NURCHOLIS MAJID, ABDURRAHMAN WAHID, AMIEN RAIS, DAN JALALUDDIN RAHMAT)
1.    Nurcholis Majid dan Pemikirannya
Nurcholis Madjid ataupun yang akrab dengan sapaan Cak Nur, lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 M. Beliau adalah staf pada Lembaga Ilmu  Pengetahuan (LIPI), Jakarta. Juga, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pendidikannya dimulai di Pesantren Rejoso, Jombang, dan kemudian di Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Melanjutkan studinya ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Jurusan Sastra Arab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan tamat pada tahun 1968. Sejak tahun 1978-1984 melanjutkan pendidikan doktoralnya di University of Chicago dan meraih gelar Ph.D. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971), Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Asisten Sekretaris Jenderal International Islamic Federation of Students Organizations (IIFSO). Pengakuan atas perannya dalam kancah pemikiran keislaman di Indonesia tampak pada kenyataan dijadikannya pemikiran-pemikiran tokoh ini sebagai bahan beberapa disertasi doktoral sekaligus, disamping pembahasan-pembahasan dalam setiap karya tulis mengenai masalah tersebut. [5]
1.1.   Modernisasi: Tinjauan Islami
Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya-guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kiranya menjadi mantaplah keyakinan kita, bahwa modernisasi, yang berarti rasionalisasi untuk memperoleh dayaguna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal, guna kebahagiaan umat manusia, adalah perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar.[6]
1.2.   Rasionalisme dan Agama Baru (Humanisme)
Rasionalisme adalah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut oleh komunis. Maka, seorang rasionalis adalah seorang yang menggunakan akal pikirannya secara sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikirannya itu sanggup menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun. Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran. Menurut Islam sekalipun, rasio dapat menemukan kebenaran-kebenaran, namun kebenaran-kebenaran yang relatif, sedangkan kebenaran yang mutlak hanya dapat diketahui oleh manusia melalui sesuatu yang lain yang lebih tinggi daripada rasio, yaitu wahyu (revelation) yang melahirkan agama-agama Tuhan, melalui Nabi-nabi.[7]
1.3.   Westernisme, Liberalisme, dan komunisme
Kita sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, kita juga sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan bahwa modernisasi ialah westernisasi, sebab kita menolak westernisasi.
Dan sudah pasti, kita tidak menolak ilmu pengetahuan yang benar, dan juga teknologi, sekalipun berasal dari Barat, bahkan sekalipun berasal dari komunis. Sebab ilmu, pengetahuan dan teknologi sama sekali tidak dapat dikatakan dimonopoli oleh Barat, apalagi disebut westernisme. Malahan dalam hal ilmu pengetahuan, Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk mencari nya dimana saja, “meskipun ke negeri Cina”.
Malahan sudah menjadi pengakuan yang umum sekali sekarang ini, bahwa kemajuan Barat adalah berkat ilmu pengetahuan kaum muslimin di zaman keemasannya. Supremasi Islam dimuka bumi, dua kali lebih panjang lamanya daripada supremasi Barat sekarang ini.
Cabang-cabang sekulerisme antara lain, ialah liberalisme. Bila diukur dengan ajaran Tuhan Yang Maha Esa, liberalisme adalah suatu ajaran yang sesat yang harus ditentang. Mengenai ajaran liberalisme tentang kemerdekaan individu, tentu patut dihargai. Tetapi bahwa kemerdekaan itu tak terbatas, adalah suatu hal yang sangat membahayakan kehidupan bermasyarakat.
Liberalisme mengakibatkan individualisme, dan individualisme mengakibatkan kapitalisme. Maka dalam kapitalisme inilah kita dapati prinsip lemerdekaan dinodai sedemikian rupa, sehingga tinggal sebagai semboyan belaka. Orang-orang kapitalis berbicara tentang “kemerdekaan ekonomi”: kebebasan setiap orang untuk mengumpulkan harta kekayaan dan menggunakannya sebagai modal, tanpa menentukan norma moral bagaimana harta kekayaan itu diperoleh. Bagi mereka tidak ada harta yang halal maupun yang haram.
Komunisme adalah bentuk lain dan lebih tinggi dari sekularisme. Sebab, komunisme adalah sekularisme yang paling murni dan konsekuen. Dalam konsumenismelah seseorang menjadi ateis sempurna. Kaum komunis membenarkan, malah mendasarkan keseluruhan ajarannya pada prinsip persamaan diantara manusia. Tetapi prinsip persamaan dalam komunisme itu pun mengalami nasib yang sama dengan prinsip kemerdekaan dalam kapitalisme. Kaum komunis menodai prinsip persamaan itu sebegitu rupa, sehingga tinggal semboyan semata-mata. Malahan yang terjadi ialah adanya supremasi-mutlak pihak penguasa atas pihak yang dikuasai, yaitu rakyat pada umumnya.
Karena kapitalisme dan komunisme itu tidak benar, maka kita sekarang menyaksikan pergeseran-pergeseran di dalam keduanya. Sebab, manusia tidak mungkin bisa bertahan sepenuhnya dalam suatu prinsip dan dalam ajaran yang kebenarannya tidak mutlak. Sekarang ini kita lihat bahwa negara-negara kapitalis makin menunjukkan gejala sosialistis. Sebaliknya, negara-negara komunis, dari hari kehari menjadi liberalis.[8]
1.4.   Snoukisme: Pengalaman Berharga Bagi Bangsa Indonesia 
Seperti diketahui, Pemerintah kolonial belanda memberikan pendidikan kepada pribumi Hindia Belanda, dan mendirikan sekolah-sekolah, sejak dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi. Hal-hal itu dilakukan dalam rangka “Politik Sopan”-nya (Ethical Policy). Hal ini memaksa kita untuk kembali ke sejarah lebih jauh lagi.
Dalam menjalankan “Politik Sopan” inilah pandangan-pandangan seorang ahli islam (Islamologi) terkenal, Snouck Hurgronje, sangat berpengaruh. Ketika menasehati pemerintah kolonial belanda, untuk menghadapi umat islam indonesia, Snouck Hurgronje mengemukakan pendapatnya bahwa Pemerintahan Kolonial harus mengembangkan sikap netral terhadap Islam sebagai agama, dan sikap keras-tegas terhadap Islam sebagai gerakan politik, dan pemerintah kolonial sekaligus harus merangkul golongan-golongan dalam masyarakat Indonesia yang agak tipis keislamannya: yaitu kaum elite tradisional, pemimpin-pemimpin kaum adat di luar Jawa, dan kaum priyayi di Jawa. Kesemuanya itu ditempuh semata-mata untuk memperkokoh kolonialisme Belanda di bumi Indonesia.
Tetapi, hal itu semua hanyalah permulaan politik Belanda lebih lanjut: yaitu sepenuhnya menghancurkan Islam, dan mengusirnya dari bumi Hindia Belanda. Sebab, seperti dikatakan oleh Dr. Harry J. Benda: “... selama bangsa indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya, masih tetap merupakan orang-orang Muslim, maka hubungan kolonial selamanya tidak akan dapat memberikan jalan bagi adanya ikatan yang abadi antara Indonesia dan Negeri Belanda”.
Lebih dari itu, dan inilah intisari filsafat kolonialismenya Snouck Hurgronje. Indonesia harus dimodernisasikan, dijadikan modern. Dan seperti juga dikatakan oleh Snouck, “Oleh karena Indonesia modern itu, menurut batasannya, tidak mungkin merupakan Indonesia Islam, dan tidak pula merupakan Indonesia yang diperintah oleh adat, maka harus merupakan Indonesia yang di Baratkan.[9]   
1.5.   Nilai-Nilai Keislaman: Harta Berharga Bangsa Indonesia
Dalam keadaan inilah rakyat Indonesia didorong oleh suatu kewajiban mencari kepribadian nasional (national identity), sebagai langkah yang pertama-tama harus diambil dalam rangka mengisi kemerdekaan. Sebab, bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu bangsa sebelum mereka mengubah apa yang ada pada jiwa mereka, yaitu berupa set of ideas, attitudes and convictions (sekumpulan pikiran, sikap, dan keyakinan).
Di antara milikan nasional itu, secara obyektif, yang paling menonjol ialah keislaman. Keislaman inilah yang telah mampu menjadikan dirinyasebagai simbol kebangkitan bangsa dalam menentang penjajahan, semenjak ekspedisi Patih Unusdari kerajaan Demak untuk mengusir penjajahan Portugis dari malaka, sampai lahirnya partai dan gerakan politik dengan organsasi massa yang modern yang pertama kali di Indonesia (PSII), dibawah pimpinan Pak Cokro dan pak H.A Salim, yang menjadi sumber inspirasi dan aspirasi seluruh gerakan nasional patriotik dan revolusioner di Indonesia menjelang kemerdekaan tahun 1945.
Dari segi inilah kita harus menilai mutlaknya gerakan-gerakan Islam dalam Indonesia merdeka ini, semenjak dari Partai Politik Islam Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam ditahun permulaan kemerdekaan, sampai partai-partai Islam yang ada sekarang ini, yaitu NU, PSII, Partai Muslimin dan Perti. Di samping itu, juga organisasi-organisasi massa Islam, baik yang bergerak di bidang pendidikan, kesejahteraan sosial dan lain-lain, maupun di bidang kemahasiswaan dan kepelajaran.
Organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepelajaran Islam berfungsi sebagai pelengkap pendidikan di sekolah atau fakultas/akademi, ditanamkan kewajiban untuk mengikis habis sisa-sisa Snockisme yang meracuni kehidupan bangsa Indonesia. organisasi-organisasi ini bertugas menghilangkan dualisme keislaman dan keterpelajaran (intelektualitas). Sehingga terbentuklah kelak sarjana-sarjana Musim, dimana keislaman dan intelektualitas berpadu.[10]


[1]      Berdasarkan keterangan Agus Sunyoto dalam diskusi Atlas Walisongo di Youtube:
Karena Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 1419 M, maka pada tahun 1421 M dikirim seorang penyebar Islam baru yang bernama AHMAD ALI RAHMATULLAH dari Negeri Champa (sekarang daerah vietnam selatan) Beliau adalah anak SYEKH IBRAHIM ASMARAKANDI yang menjadi menantu Sultan Campha. Pemilihan Ahmad Ali Rahmatullah yang nantinya sering dipanggil RADEN RAHMAT dan kelak kita kenal dengan nama Sunan Ampel.
[2]      Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 7-11
[3] Ibid., hlm. 256-257
[4] Ibid., hlm. 307-313
[5]    Nurcholis Majid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Jakarta:Penerbit Mizan, 1999), hlm. 5

[6] Ibid., hlm. 172-173
[7] Ibid., hlm. 181-182
[8] Ibid., hlm. 187-189
[9] Ibid., hlm. 192-193
[10] Ibid., hlm. 198-199

0 comments:

Post a Comment